Easting Medi, Pelukis Spesialis Kepala Buddha dan Daun Bodhi di Candi Borobudur



MAGELANG - Bagian kepala Sidharta Gautama atau Buddha Gautama dan pohon Bodhi di sekitar Candi Borobudur menginspirasi Easting Medi atau Ismedi, seorang pelukis dari Borobudur untuk berkarya.
Bahkan, dia mampu menciptakan lukisan yang mendunia berkat ketekunannya melukis dengan objek yang sama, yakni spesialis kepala Buddha.
Tangan Ismedi nampak sibuk menggoreskan kuas berwarna kuning di kanvas sekira 1,5 x 1,2 meter di hadapannya.
Lambat laun, goresan kuas dari cat acrylic yang dipadu dengan beragam warna itu membentuk kepala Buddha yang menarik.
Ismedi memberikan sentuhan awan pada lukisannya tersebut. Sehingga, lukisan tersebut menjadi hidup dan sarat makna.
Beberapa kali, Easting Medi menikmati goresan-goresan yang dilakukannya pada kain kanvas tersebut dengan ditemani seekor iguana yang dia beri nama Joe.
Nama Easting Medi merupakan satu diantara seniman di kawasan Candi Borobudur yang lukisannya diminati penikmat seni dari luar negeri dan kolektor dalam negeri.
Lukisan-lukisan daun Bodhi dan kepala Buddha miliknya kerap dibeli oleh orang luar negeri dari wilayah benua Eropa seperti, Swiss, Inggris, Belanda, Amerika, Perancis. Serta negara-negar di Asia seperti, India, Tiongkok, Singapura, Malaysia.
“Yang paling berkesan, saat itu saya melukis di depan Ratu Denmark saat berkunjung ke Borobudur. Lukisan itu akhirnya laku dibeli orang dari London, Inggris dengan harga 1.500 dolar atau Rp 21,4 juta saat itu,” kenang Medi kepada Tribun Jogja.
Kedamaian
Ketekunan warga Tingal Wetan, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur untuk melukis kepala Buddha dan daun Bodhi berawal dari cerita romantikannya di masa kecil.
Dia merasakan ketenangan dan kedamaian setelah melihat relief, patung dan berteduh di bawah pohon Bodhi di Candi Borobudur.
Medi mengatakan, dalam tradisi di masa kecilnya, pada saat merayakan Lebaran atau Idul Fitri, dia kerap merayakannya dengan naik ke candi peninggalan dinasti Syailendra ini.
Medi kecil berjalan menyusuri jalan kampung dengan mengenakan baju baru lengan dilinting, sepatu jenggel, berkaca mata riben hitam, untuk naik ke Candi Borobudur.
“Dulu memang rasanya belum merayakan lebaran kalau belum naik Candi Borobudur. Hal itu saya lakukan dengan berjalan kaki dari rumah, kemudian naik ke tataran anak tangga sampai puncak, mengelilingi setupa induk beberapa kali, sambil melihat pemandangan lalu turun menelusuri dinding-dinding candi sambil mengamati detail relief,” jelas pengidola pelukis Affandi ini.
Usai berkeliling candi, Medi lalu beristirahat di bawah pohon besar sebelah selatan candi dengan menikmati segarnya udara. Di situ, ujarnya terletak patung Buddha. Ada kedamaian, ketenangan dan juga rasa nyaman di hatinya.
“Damai sekali rasanya. Saya merasakan udara segar di bawah pohon yang saat itu, saya tidak tahu pohon apa, ternyata berpuluh tahun mengerti itu pohon Bodhi. Hingga akhirnya, saya melukis tema Buddha dan daun Bodhi sebagai obyek karena hal itu mengingatkan saya di masa kecil yang sangat menyenangkan. Tenang, Damai begitu luar biasa kehidupan itu,” ucap pria kelahiran 16 Juli 1976 ini
Adapun, awal perjalanan melukisnya dimulai dari menjadi pelukis muda Borobudur. Saat itu, dia kerap melukis menggunakan cat air.
Beragam kejuaraan dia ikuti, dan Medi kerap mendapat nomor kejuaraan. Saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, dia beberapa kali mengikuti lomba lukis poster tingkat Kabupaten maupun nasional.
Sejumlah penghargaan diterimanya, di antaranya, pada tahun 1993 dia mengikuti lomba lukis poster Festival Borobudur dan mendapat juara harapan satu.
Di tahun yang sama, dia mengikuti lomba lukis poster penghijauan di Kabupaten Magelang dan dua kali mendapat juara satu.
Adapun pada tahun 1994, dia mengikui lomba lukis poster Tanah Merdeka Republika di Stasiun TVRI Yogyakarta dan mendapat juara satu.
Selain itu, tahun 1995 lomba desain perangko di Bandung, dan mendapat juara dua dan beberapa kali menjadi juri lomba lukis.
“Saya juga pernah membuat kartu lebaran dan dijual sendiri di emperan toko, Kota Muntilan. Serta, membuat lukisan di atas kaca nako yang saya jual sendiri di terminal bus Taman Wisata candi Borobudur. Saat itu, saya berjualan sambil demo melukis,” ujar lulusan jurusan kriya keramik PPPG Kesenian Yogyakarta tahun 2000 ini.
Hingga kini, di sela-sela kesibukannya melukis, Medi juga juga membuat patung dan juga keramik dengan nama “MD Clay”. Medi yang juga vegetarian ini juga sempat terlibat dalam pembuatan patung 40 dewa di Benya Art.
“Melukis bagi saya adalah jalan hidup yang saya tekuni hingga saat ini,” tandasnya.

Share on Google Plus

    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar