Jogja4You - Biennale
Jogja XIII yang dihelat sejak 1 November 2015 ditutup dengan karnival dari
Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di kawasan Bugisan Yogyakarta hingga Jogja
National Museum (JNM). Karnival ini diikuti beragam komunitas seni dengan ragam
pertunjukan, antara lain Ace House Collective, Bregada Niti Manggala, UFO
Tertangkap, Komunitas Kesini@n Kulon Progo, Prampin Street Art, Odong-odong
Street Slam (Emeka Udemba), Komunitas Sepeda Pitpaganda, dan Kursi-kursi
Kehormatan Bengkel Mime.
Karnival
dipilih sebagai format menutup pergelaran seni rupa dua tahunan di Kota Jogja
ini untuk menunjukkan bahwa seni rupa hidup dalam semangat emansipasi. Dalam
sukma karnival, tak ada lagi elite dan kawula, tua dan muda, seniman dan
masyarakat umum.
Karnival
yang “dipimpin” band cadas seni rupa Punkasila itu memberitahukan betapa
kehidupan kita di ruang publik makin ke sini makin berbahaya dan tak nyaman.
Bukan saja ruang publik itu direbut oleh politik yang tak beradab, melainkan
eksploitasi ekonomi yang meminggirkan ekologi, orang papah, dan seni.
Pergelaran
Wayang Sawah dari Giripeni Kulon Progo dan Kethoprak HIPHOP di panggung
penutupan Biennale Jogja juga dimaksudkan mempertemukan yang tradisi dengan
kontemporer; yang di pinggir dan di pusat; dan panggung seni pertunjukan dan
dinding seni rupa.
Kethoprak
HIPHOP yang menghubungkan pemusik hiphop dan penggiat ketoprak seperti Marwoto
dan Den Baguse juga menyandingkan yang bertolak. HIPHOP dan ketoprak menegaskan
relasi yang yang lokal dan global, sebagaimana tema pertunjukannya yang meriah:
“Damarwulan Menakjinggo Melintas Atlantik”. Sebuah kisah perjalanan mereka yang
“di sini” menuju “ke sana”.
0 komentar:
Posting Komentar