YOGYAKARTA
– Gagasan dan ide adalah layar belakang dari gebyar pameran seni rupa. Mereka
yang bergelut di teks-teks seni rupa adalah penenun jalannya sejarah sehingga
kita memilih jejak; baik kebesaran, keanggunan, dan kegagalan-kegagalannya. Di
sudut itulah hadir seorang penulis, juru bicara, dan sekaligus pembela garis
depan seni rupa Indonesia.
Serangkaian
alasan itu yang menjadi musabab mengapa Biennale Jogja XIII memberikan Lifetime
Achievement Art Award kepada Jim Abiyasa Supangkat Silaen atau lebih dikenal
dengan nama Jim Supangkat di malam penutupan di Jogja National Museum (10/12).
BJ XIII yang digelar sejak 1 November ini mempertemukan Indonesia dan Nigeria
dalam perbincangan seni rupa kontemporer sebagai dua negara di lintasan garis
khatulistiwa.
Jim
Supangkat yang lahir di Jongaya, Sulawesi Selatan, 2 Mei 1948, ini dikenal
sebagai salah satu motor perubahan yang memperluas lanskap seni rupa Indonesia
dari sekadar lukisan dan patung. Ia juga tercatat sebagai orang pertama di
Indonesia yang mengaku diri sebagai kurator.
Alumnus
seni patung Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) ini bersama 10
perupa muda dari Bandung dan Yogyakarta terlibat membuat “pameran” dengan
format yang menyempal yang mereka beri nama Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia
pada 1975 dan 1977.
Pameran
GSRBI yang dihelat Jim Supangat dan para perupa muda itu memberi napas baru
bahwa seni rupa bukan yang itu-itu saja. Saat menjadi kurator Biennale Jogja
tahun 1994, Jim Supangkat mengubah nama Biennale Jogja; dari Biennale Lukisan
menjadi Biennale Seni Rupa.
Publik
seni rupa Indonesia kemudian mengenal Jim Supangkat yang pernah menempuh
pendidikan pascasarjana di Psychopolis Art-Academie Den Haag, Belanda pada
1978-1979 adalah sosok yang gigih memperjuangkan hadirnya galeri nasional yang
berwibawa. Dan hasilnya adalah Indonesia memiliki Galeri Nasional yang
berkedudukan di Jakarta Pusat saat ini.
“Apa
yang saya pikirkan, lakukan, dan berikan kepada seni rupa umumnya disertai
kontroversi. Peristiwa yang tak diterima seni status quo. Tapi mungkin panitia
memiliki cara pandang lain, cara pandang sejarah untuk memberikan penghargaan
dari apa yang saya lakukan puluhan tahun,” kata kurator pertama yang
menyelenggarakan pameran berskala internasional pada 1995, “Pameran Seni Besar Negara-negara
Nonblok”.
“Masyarakat
seni di Jogja cukup hangat di hati saya,” lanjutnya dalam sebuah pidato singkat
penganugerahan.
0 komentar:
Posting Komentar