Mikrosefalus dan Kaitannya dengan Virus Zika


JakartaCNN Indonesia -- Kasus virus zika yang menyebar di kawasan Amerika Latin banyak menjadi kekhawatiran pada ibu hamil. Meski belum dikatakan secara resmi, namun virus yang disebarkan oleh nyamuk Aedes aegepti itu diduga menjadi penyebab terjadinya mikrosefalus pada bayi.

"Bayi dengan mikrosefalus memiliki kepala yang sangat kecil. Sekitar 15 persen dari kasus mikrosefalus alami benar-benar lahir dengan kepala kecil serta tidak memiliki dampak apapun pada janin atau bayi," kata Constantine Stratakis, direktur ilmiah dan genetika anak dari National Institute of Child Health and Human Development, Amerika Serikat, seperti yang dilansir the New York Times.

Kasus mikrosefalus termasuk dalam penyakit yang terkait dengan perkembangan kepala dan berhubungan dengan saraf yang ada di otak. Biasanya, bayi disebut mengalami mikrosefalus bila ukuran lingkar kepala di bawah standar usia dan kelamin, sebanyak dua standar deviasi.

Dalam kasus mikrosefalus, otak pada bayi tidak berkembang sempurna semasa masih di dalam rahim bahkan ada yang berhenti berkembang. Anak dengan mikrosefalus dapat mengalami berbagai masalah seperti hambatan perkembangan tubuh, keterbelakangan intelektual, atau kehilangan pendengaran. 

Meski sebagian besar mikrosefalus disebabkan oleh kelainan genetik, namun kondisi ini juga dapat terjadi karena infeksi pada janin, seperti campak Jerman yang juga dikenal dengan nama rubella, toksoplasmosis yang disebabkan oleh parasit pada daging mentah dan kotoran kucing, juga Cytomegalovirus.

Cytomegalovirus adalah kelompok virus yang biasa menyerang manusia dan kera. Pada manusia, Cytomegalovirus disebut human cytomegalovirus atau HCMV. Beberapa jenis penyakit yang disebabkan HCMV adalah toxoplasmosis, rubella, dan herpes simplex. Tercatat, lima dari seribu kelahiran bayi terinfeksi HCMV.

Selain dari genetik dan infeksi kelompok virus, janin dapat terkena mikrosefalus akibat konsumsi alkohol oleh ibu selama masa kehamilan, juga malnutrisi, atau diabetes. Bila terjadi cacat pada tahun pertama bayi, itu dapat disebabkan karena luka pada otak semasa kehamilan.

"Tidak ada cara menangani mikrosefalus, hanya ada terapi untuk menghadapi akibat yang ada karenanya," kata Hannah M Tully, ahli saraf spesialis malformasi otak di Seattle Children's Hospital.


Kaitannya dengan Zika



Virus zika menjadi perbincangan setelah ribuan bayi di Brasil terindentifikasi virus ini dengan gejala kepala yang kecil di bawah normal saat lahir. 

Padahal, semula para peneliti menganggap virus ini tidak mengganggu kehidupan manusia. Virus ini pertama kali ditemukan pada 1947 di hutan Zika, Uganda. Tercatat, hingga 2007 kurang dari 20 kasus virus ini ditemukan. Kebanyakan virus ini ditemukan di kawasan Pasifik Selatan dan Polynesia.

Virus zika masih belum menjadi perhatian hingga sebanyak 1,5 juta orang terinfeksi di Brasil hingga akhir tahun kemarin. Kasus ini menjadikan zika sebagai kasus terbesar yang pernah ada. Para peneliti menduga virus ini datang dari pengunjung World Cup yang diadakan di negeri Samba pada 2014.

Dugaan pertama kali zika berkaitan dengan mikrosefalus ketika jumlah kejadian bayi dengan kepala kecil ini meningkat hampir 20 kali lipat dibanding biasanya pada tahun lalu. Setiap tahun di Brazil tercatat ratusan kasus mikrosefalus, namun pada 2015 lalu, pihak pemerintah setempat mencatat kasus ini melambung hingga setidaknya 3500 kasus.

Dugaan semakin kuat antara zika dengan mikrosefalus ketika pemerintah Brasil menemukan virus zika pada ibu yang melahirkan anak dengan mikrosefalus. Kemudian, bukti yang mereka anggap paling kuat adalah ketika peneliti setempat menemukan virus zika di otak bayi dengan mikrosefalus dan meninggal 24 jam setelah lahir.

Namun, hingga saat ini para peneliti belum menemukan bukti yang benar-benar jelas mengenai kerja virus zika dalam menyebabkan mikrosefalus. Penelitian tentang virus ini pun sangat sedikit karena jarang muncul sebagai kasus.

Selain mikrosefalus, virus zika juga berpeluang menjadi penyebab sindrom Gullain-Barre, sindrom saraf langka yang menyerang otot dan menyebabkan kelumpuhan. Zika juga dikaitkan dengan lebih dari 40 kematian.

Meski belum ada vaksin untuk menangani zika, penanganan yang paling memungkinkan adalah tindakan umum seperti istirahat, dan penggunaan analgesik serta antipyretic yang dapat mengurangi demam.  Penggunaan Aspirin dan obat non-steroidal anti-inflammatory atau NSAIDs sebaiknya dihindari sampai gejala dengue berkurang guna menghindari pendarahan.

Bila seseorang diduga dan kemudian positif memiliki virus zika dalam darahnya, maka orang tersebut harus dihindari dari paparan nyamuk selama beberapa hari di awal gejala. Tindakan ini diperlukan guna mencegah nyamuk lain menggigit lalu menyebarkan ke orang lain sehingga mengurangi resiko penularan virus.

Dengan minimnya pengetahuan tentang penanganan zika, sejauh ini Badan Kesehatan Dunia (WHO) baru memberikan peringatan dan cara pencegahan terinfeksi zika, terutama kepada ibu hamil agar tak terjangkit virus yang kini dinyatakan sebagai darurat kesehatan oleh WHO. 

(les)


Sumber
Share on Google Plus

    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar