Jakarta, CNN Indonesia -- Pejabat senior Gedung Putih bekerja sama dengan intelijen Amerika Serikat dan sejumlah lembaga penegak hukum akan mengadakan pertemuan dengan para pejabat dari Silicon Valley pada Jumat, untuk mendiskusikan cara untuk menanggulangi penggunaan sosial media bagi kelompok militan.
Pertemuan ini menyusul sejumlah serangan di Paris dan San Bernardino, California yang menggarisbawahi penggunaan sejumlah media sosial seperti Twitter, YouTube dan Facebook.
Sumber yang dekat dengan pertemuan itu menyatakan kepada Reuters bahwa mereka akan membahas konten di sosial media, komunikasi yang tidak terenkripsi, dan berbagai topik lain yang terkait dengan Gedung Putih dan Silicon Valley.
Sementara, pekan lalu Twitter memperbarui kebijakan mereka dengan melarang konten yang mengandung “tindakan berlandaskan kebencian.” Sejumlah situs lainnya mengembangkan kebijakan serupa dalam 18 bulan terakhir ini.
Agenda pertemuan akan bertujuan untuk mempersulit kelompok militan meluncurkan perekrutan maupun menggalang dukungan di media sosial, dan sebaliknya, mempermudah publikasi dan penggalangan dukungan bagi konten yang memerangi kelompok militan seperti ISIS.
Pertemuan ini juga akan membahas bagaimana teknologi akan digunakan untuk menggangu jalur radikalisasi, dan mengidentifikasi pola rekrutmen militan, mempermudah para penegak hukum dan agen intelijen untuk mengidentifikasi operasi militan.
Pemerintahan Obama “sangat jelas menegaskan tentang pentingnya pemerintah dan pelaku industri bekerja sama untuk menghadapi terorisme, tapi kami tidak memiliki pertemuan khusus untuk diumumkan saat ini," kata seorang pejabat senior, Kamis (7/1).
Di tengah meningkatnya kekhawatiran masyarakat tentang potensi serangan militan, Presiden Barack Obama memaparkan dalam sebuah pidato pada Desember lalu, "Saya akan mendesak para pejabat senior teknologi dan penegak hukum untuk mempersulit teroris menggunakan teknologi untuk melarikan diri dari keadilan." P
erusahaan teknologi kini juga semakin kooperatif, mencatat konten yang dipandang sebagai mampu menghasut kekerasan atau merekrut militan. Namun, sejumlah perusahaan teknologi enggan berbagi informasi dengan peyidik pemerintah, utamanya setelah Edward Snowden membocorkan rahasia keamanan nasional AS. (ama)
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar