Evaluasi ini menyusul peringatan dari Uni Eropa pada April lalu, bahwa jika praktik penangkapan ikan ilegal di Thailand tak juga surut, pasar Eropa kemungkinan besar akan melarang makanan laut dari Thailand.
Dilaporkan Channel NewsAsia pada Senin (18/1), tim teknis Uni Eropa dijadwalkan akan melakukan inspeksi acak terhadap industri perikanan Thailand mulai Senin hingga Rabu (20/1). Inspeksi juga akan diikuti oleh sejumlah delegasi resmi Uni Eropa dari Kamis sampai Jumat.
Uni Eropa menuduh industri perikanan Thailand meremehkan peraturan internasional, sehingga menyebabkan sejumlah masalah, seperti penangkapan ikan berlebih dan kesewenangan pekerja di industri perikanan.
Oleh karena itu, pemerintah Thailand memperkenalkan kerangka hukum dan peraturan baru dalam upaya mencegah sanksi dari Uni Eropa.
"Yang paling penting adalah untuk menciptakan pemahaman yang akan membantu nelayan melakukan hal yang benar," kata Wakil Laksamana Jumpol Lumpiganon, juru bicara Pusat Komando Penanggulangan Penangkapan Ikan Ilegal Thailand.
"Ini juga termasuk pejabat yang terlibat dalam masalah [tersebut]; mereka harus beradaptasi dan meninggalkan cara-cara lama dan melakukan cara yang benar di bawah hukum dan tugas mereka," ujar Jumpol.
Thailand memperkenalkan sistem pemantauan baru menargetkan sekitar 93 persen kapal nelayan komersial besar. Thailand juga membangun Pusat Pengendalian Keluar-Masuk Kapal di sejumlah pelabuhan di daerah provinsi pesisir untuk memungkinkan pihak berwenang melacak pergerakan kapal nelayan dan mencegah penangkapan ikan ilegal.
Thailand mengklaim bahwa lebih dari 45 ribu kapal penangkapan ikan komersial terdaftar di bawah aturan baru tersebut, sementara lebih dari 8.000 kapal dinyatakan gagal memenuhi peraturan tersebut dikenai sanksi berupa pencabutan lisensi.
Berdasarkan peraturan baru tersebut, Thailand mengklaim bahwa penegakan hukum terkait penangkapan ikan ilegal meningkat, mengakibatkan penuntutan terhadap lebih dari 1.000 tersangka. Pihak berwenang Thailand juga menutup sejumlah pabrik makanan laut yang ditemukan menggunakan tenaga kerja ilegal.
Beberapa kelompok masyarakat sipil lokal menyetujui bahwa ada harus menjadi perbaikan besar dalam regulasi dan perlindungan hak-hak pekerja. Namun, warga memperingatkan bahwa masih terdapat masalah hukum menyangkut pekerja imigran, yang jumlahnya sangat besar dalam industri perikanan.
"Semua pekerja di kapal nelayan berasal dari jalur yang sah," kata Sompong Sakawe, direktur Promosi Jaringan Hak Buruh.
"Ini tidak menjadi masalah bagi para pekerja Thailand, tetapi untuk pekerja migran, ini adalah masalah yang paling penting. Apakah mereka akan bekerja di bawah sistem nota kesepahaman antar pemerintah, atau mereka terdaftar dengan cara yang berbeda? Saya pikir ini adalah isu yang akan harus dipertimbangkan lebih lanjut," kata Sompong.
Jika Uni Eropa memutuskan bahwa Thailand tidak berbuat cukup untuk mengatasi penangkapan ikan ilegal, Uni Eropa akan menjatuhkan sanksi terhadap ekspor makanan laut ke 28 negara anggotanya. Ekspor makanan laut Thailand ke Uni Eropa menyumbang sekitar 10 persen dari total ekspor negara ini, yang diperkirakan hampir mencapai US$7 miliar, atau sekitar Rp95 triliun per tahun. (stu)
0 komentar:
Posting Komentar