Di Balik Kedok Candaan dan Keakraban dari Nama Julukan
Jakarta, CNN Indonesia -- Memberikan nama julukan atau panggilan yang bernada meledek sering kali terlontar dengan nada candaan. Ada juga yang melakukannya sebagai bentuk keakraban. Akhirnya, momen yang dianggap sebagai ajang lucu-lucuan untuk mencairkan suasana itu pun, menjadi sebuah kebiasaan.
Sayangnya tidak semua orang menganggap hal itu murni sebagai candaan. Beberapa orang menganggap hal tersebut sebagai hal yang serius, menganggap dirinya sedang mendapat ejekan.
Psikolog klinis Liza Marielly Djaprie menilai pemberian nama julukan seperti ‘si gajah’, ‘si kutu’, ‘si kribo’, atau nama lainnya sebenarnya bisa termasuk verbal bullying karena menggunakan kata-kata, pernyataan atau julukan tertentu untuk merendahkan atau menindas orang lain.
Apalagi jika orang yang mendapatkan julukan itu merasa tersakiti. Sebab, menurutnya tidak ada yang bisa menebak perasaan si penerima panggilan terhadap julukan yang melekat pada dirinya.
"Verbal bullying memang tidak mesti jahat. Mungkin bentuk keakraban saja. Tapi kalau orang itu tidak mood atau pembawaannya negative thinking, itu bisa jadi menyakiti,” kata Liza, dalam acara peluncuran kampanye gerakan #rayakannamamu yang diadakan oleh Coca Cola di kawasan Senayan, Jakarta, belum lama ini.
Liza pun menyarankan, daripada salah satu pihak merasa tersakiti secara diam-diam karena pemberian nama julukan itu, lebih baik panggil saja dia dengan namanya. Atau jika merasa terganggu sebaiknya tunjukkan rasa penolakan itu dan buat batasan sendiri.
"Kita kan tidak bisa menyuruh orang di luar sana untuk memanggil nama kita yang sebenarnya, tapi kalau msialnya kita dipanggil bukan nama sendiri, ya jangan nengok. Buat batasan. My name is my name, call me by my name," ujar Liza.
Jika kondisi tak kunjung berubah atau tiba-tiba penerima julukan merasa dijauhi atas penolakannya itu dengan dalih 'tidak bisa diajak bercanda', Liza menyarankan untuk mengajak si pemberi julukan itu berbicara dengan sopan.
"Kalau habis itu dikatain, bersikap sopan saja, 'Maaf kalau saya menyakiti kamu, tapi panggil nama saya saja boleh ya. Saya lebih menghargai kalau nama saya dipanggil.’ Jadi bikin batasan sendiri," kata Liza.
Di sisi lain, tidak semua orang menganggap pemberian nama julukan sebagai bentuk verbal bullying. Misalnya saja Hani, seorang karyawan swasta di Jakarta, menilai hal itu sebagai sesuatu yang wajar saja karena memang untuk lucu-lucuan atau bentuk keakraban.
Hani yang memiliki perawakan tubuh mungil itu pun kerap dipanggil dengan julukan ‘si kutu’, atau julukan lainnya yang menggambarkan kalau tubuhnya memang kecil. Tapi ia tidak pernah mempermasalahkan itu.
"Tergantung penerimaan orangnya. Kalau saya mah cuek saja dikatain ini itu. Saya tidak menganggap itu sebagai bullying," kata Hani kepada CNNIndonesia.com.
Abdullah Arby, seorang mahasiswa jurusan Hukum di universitas swasta ternama di Jakarta pun tidak mempermasalahkan panggilan atau julukan ‘Gigi’ yang melekat pada dirinya. Laki-laki berusia 24 tahun itu memang memiliki bentuk gigi yang sedikit lebih besar dibandingkan orang kebanyakan.
Arby mendapat julukan Gigi sejak dia duduk di bangku SMA. Semua bermula dari teman-temannya yang membuat julukan atau nama panggilan masing-masing. Ada yang dipanggil 'tompel', 'panjul', atau 'coker'.
"Kalau saya sih menganggapnya panggilan sayang, soalnya sudah dekat banget dan akrab sama teman-teman. Yah mungkin buat bedain panggilan sahabat sama panggilan teman, jadi fine-finesaja," kata Arby.
Perbedaan panggilan kesayangan itu ternyata terbukti saat Arby duduk di bangku kuliah. Ia merasa risih dengan orang yang memanggil Gigi, lantaran mereka memang belum terlalu akrab dengannya.
Kendati menurut beberapa orang pemberian nama panggilan atau julukan itu tidak mengarah kepada tindakan verbal bullying, karena tergantung penerimaan masing-masing individu, tapi bukan berarti orang yang menganggap hal itu sebagai bullying patut disalahkan.
Menurut Liza, dalam kasus bullying sebenarnya tidak bisa dicari mana yang salah dan mana yang benar. Pelakubullying dan korban sama-sama mempunyai masalah masing-masing.
"Ini akan jadi seperti benang kusut saja. Bisa saja pelakubullying di rumahnya mungkin dia stres, di sekolah stres, mereka juga memiliki masalah psikologis. Kalau menghukum dia juga, sama saja membuat orang yang sudah sakit tambah sakit," ujar Liza.
Oleh sebab itu, ia menyarankan jika seseorang merasa dibully oleh orang lain, sebaiknya keduanya diajak bicara. Agar masalah yang sebenarnya dapat diketahui sehingga penyelesaian fokus terhadap masalah tersebut. Bukan menghukum pelaku bullying saja. (les/les)
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar