Presiden Joko Widodo Didesak Cabut PP Pengupahan


JakartaCNN Indonesia -- Advokat Publik, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora mendesak Presiden Joko Widodo segera membatalkan penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tetang Pengupahan.

Desakan dilontarkan lantaran dalam beberapa diktumnya, PP 78/2015 justru dinilai semakin memiskinkan buruh.

Satu diantaranya mengenai kenaikan upah buruh yang bisa diubah jika pemerintah telah menetapkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) setiap lima tahun sekali.

“PP ini juga mereduksi kewenangan Gubernur dan peran serikat pekerja dalam penetapan upah minimum,” ujar Nelson saat konferensi pers di LBH Jakarta, Minggu (13/12).

Selain membatasi kewenangan Gubernur dan serikat pekerja, menurut Nelson sejatinya penerbitan PP 78/2015 juga dinilai sangat mewakili kepentingan investor karena menjadikan buruh semakin memasuki kondisi kerja yang rentan.

Dari pola-pola pelanggaran hak buruh yang terjadi pada 2015, katanya terlihat bahwa negara berpengaruh dalam hal pelanggaran hak-hak buruh.

"Negara mengeluarkan PP Pengupahan yang proses pembuatannya sendiri tidak partisipatif dan (malah) memiskinkan buruh," cetusnya.

Dari catatan LBH Jakarta, sepanjang tahun ini terjadi peningkatan jumlah pengaduan yang bersinggungan dengan kasus hubungan kerja, pelanggaran normatif, hingga pelanggaran hak berserikat.

Dari laporan yang dikumpulkan sampai dengan awal Desember 2015, pengaduan terkait hubungan kerja tercatat mencapai 126 kasus, meningkat 11 kasus dari total pengaduan pada tahun sebelumnya di angka 115 pengaduan. Sementara untuk pengaduan hak normatif, tercatat meningkat tipis dari 71 pengaduan pada 2014 menjadi 72 pengaduan pada 2015.

Sedangkan pengaduan mengenai pelanggaran hak berserikat diketahui berjumlah tetap di angka 7 kasus.

Meski begitu, jumlah individu pencari keadilan meningkat drastis dari 173 orang pada 2014 menjadi 1.847 orang pada 2015. Sedangka di sisi lain, Advokat Publik LBH Jakarta Maruli Tua Rajagukguk berpendapat baik Jokowi maupun presiden terdahulu, Susilo Bambang Yudhoyono telah berperan dalam menekan kesejahteraan buruh.

“Kalau zaman SBY dulu, upah buruh dikurangi. Sementara, zaman Jokowi sekarang, hak berserikat buruh semakin terbatas. Ini artinya rencana Jokowi untuk menyejahterakan buruh tidak tercapai,” katanya.

Sebelumnya, jutaan buruh telah melakukan unjuk rasa menolak PP Pengupahan. PP tersebut ditolak karena dinilai telah melanggar hak berserikat dan berunding yang dilindungi Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun sampai saat ini pemerintah bersikeras tak akan mencabut beleid tersebut. (dim/sur)


Sumber
Share on Google Plus

    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar