Pemerintah Vs Bank Sentral



JakartaCNN Indonesia -- Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, mewacanakan peluang penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia. Pro dan kontra pun bergulir. Analis perang argumentasi. Bank sentral memilih bergeming.
 
Peluang yang disebutkan Darmin memang mulai terbuka. Mantan orang nomor satu di Bank Indonesia era Presiden SBY itu cepat merespon data Badan Pusat Statistik terkait deflasi pada Oktober 2015 sebesar 0,08%.

Ini adalah kali kedua deflasi terjadi sepanjang 2015 dan ini pula yang mendorong  Indeks Harga Konsumen secara tahunan atau year on year berada di level 6,25%. 

Mengacu pada angka ini, artinya selisih Indeks Harga Konsumen semakin lebar terhadap suku bunga acuan atau BI Rate yang berada di level 7,5%. 

Selisih lebih dari 1%, bagi Darmin, membuka peluang BI menurunkan suku bunga acuan dan tujuannya tak lain guna memecut sektor rill dan industri dalam negeri, di tengah pelemahan ekonomi saat ini.
 
Ini bukan kali pertama pemerintah "mendesak" bank sentral menurunkan suku bunga acuan.

Perkembangan suku bunga acuan Bank Indonesia.

Pada 7 Mei 2015, saat membuka acara “Institute of International Finance Asia Summit 2015” di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga pernah meminta BI menurunkan BI Rate. Penurunan bertahap menurut JK bisa dilakukan. JK memandang kondisi moneter domestik sudah teramat longgar.

Sayangnya, orang nomor 2 di republik ini pun tak cukup ampuh menggoyahkan keputusan BI. Faktanya, hingga saat ini, BI Rate masih bertahan di level 7,5%. 
 
Rupiah dan The Fed Fund Rate
 
Menanggapi sindirian Darmin, bank sentral tak terlalu reaktif. Wajar saja. Sebagai otoritas moneter, BI membaca 2 hal utama. Nilai tukar rupiah dan keputusan bank sentral AS terkait kenaikan suku bunga acuan atau Fed Fund Rate. 
 
BI wajib menjaga nilai tukar rupiah. Meski sudah berotot sejak pertengahan Oktober lalu, pergerakan rupiah belum bisa dikategorikan stabil. Volatilitas nilai tukar rupiah atas dolar AS, bisa jadi, masih dianggap bank sentral terlampau rapuh. 

Rupiah akan menjadi mata uang yang pertama kali terpukul tatkala Bank Sentral Amerika ini menaikkan suku bunga acuan dalam waktu dekat untuk pertama kali sejak 2006. 

Pemicunya adalah aliran keluar dana asing atau capital flight. Atau lebih ekstrem lagi sudden reversal (dana keluar secara masif).

Di pasar saham, hingga perdagangan 9 November 2015, investor asing mencatatkan aksi jual bersih hingga Rp 17,92 triliun. Kenyataan yang menyayat hati memang, bahwa andil asing masih mendominasi tatanan ekonomi nasional. Sehingga setiap inci gerakan dana asing patut dicermati, diberi imbal hasil tinggi, berupa bunga di level menggoda.
 
Ketika, misalnya, BI menurunkan suku bunga acuan imbal hasil di dalam negeri akan terkikis. Dalam kondisi ini, investor tentu lebih tertarik memarkirkan dananya di negara sekelas Amerika Serikat, dengan asumsi bunga pasca kenaikan, dalam kondisi politik stabil di negara adidaya tersebut. 

Negara emerging market, identik dengan aset berisiko, termasuk Indonesia, hampir pasti menjadi pilihan nomor kesekian.
 
Meski, Darmin tentu tak terlalu naif membaca kondisi ekonomi era Agus tak 'seindah' masa Darmin memimpin BI. 

Pada masa Darmin menjadi bos bank sentral, selama 3-4 tahun ada kebijakan quantitative easing(QE) dari Bank Sentral AS untuk memperbaiki krisis 2008. Mereka menggelontorkan dana murah ke dunia. 

Sementara di periode Agus memimpin BI, terdapat 2 momentum penuh tantangan. Pertama ketika The Fed  melalui Ben Bernanke mengumumkan penghentian stimulus moneter atau QE pada Mei 2013. Yang kedua, adalah saat ini, ketika The Fed di bawah Janet Yellen akan menaikkan suku bunga acuan dalam waktu dekat. 

Ditambah lagi drama ketidakpastian kapan waktu kenaikan suku bunga The Fed. Ekonomi dunia semakin tersandera.
 
Antara Istana dan Bank Sentral
 
Yang menarik adalah, sikap pemerintah dan Bank Indonesia yang kembali berseberangan. BI Rate hanya satu isu. Belum lagi terkait formulasi harga Bahan Bakar Minyak antara Joko Widodo dan Agus Martowardojo. 

Saat Presiden Jokowi mempertimbangkan penurunan harga BBM, Gubernur Agus disinyalir mengkritik wacana ini. Media ramai. Seberangan pandangan 2 tokoh sentral ini menjadi laporan utama. Kondisi harus segera mereda. 

Tak tanggung tanggung, Bank Indonesia bahkan merasa penting dan mendesak untuk merilis pernyataan resmi di situs resmi bank sentral pada 6 Oktober 2015. (baca http://www.bi.go.id/id/ruang-media/info-terbaru/Pages/Klarifikasi-GBI-Terkait-Pernyataan-Mengenai-Penyesuaian-BBM.aspx )

Muncul pertanyaan, ada apa dibalik istana dan bank sentral? Entahlah. 

Yang pasti, menanti Rapat Dewan Gubernur BI yang akan digelar 17 November mendatang, dan menimbang perspektif Menko Darmin Nasution, bola panas kini di genggaman Gubernur Agus Martowardojo. Akankah BI Rate luruh, atau justru tetap melenggang di level 7,5%.

Dalam turbulensi ekonomi seperti saat ini, dua sisi yang harusnya membawa maslahat, justru menjadi pil pahit. Hanya ada dua pilihan, stabilitas ekonomi atau pertumbuhan ekonomi. Mustahil memenangkan keduanya, sekaligus. Mestinya, tim ekonomi "Kabinet Kerja" Jokowi pun paham benar dilema ini. Ya, mereka, jajaran tim ekonomi berdasi Presiden Jokowi. (dlp)


Sumber
Share on Google Plus

    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar