Saya Takut Masa Depan Golkar


JakartaCNN Indonesia -- Konflik internal akibat dualisme kepengurusan Partai Golkar sudah berlangsung setahun lebih, tanpa ada penyelesaian yang pasti. Jalur hukum yang ditempuh kedua kubu tak juga membuahkan hasil, justru membuat sengketa berlarut-larut.

Terus terang saya sedih dan prihatin. Ini di luar dugaan dan di luar harapan. Berawal dari perselisihan menjelang Musyawarah Nasional (Munas) pada akhir 2014, dan merembet ke terbentuknya dua kepengurusan setelah masing-masing kubu menggelar Munas terpisah –Munas Bali dan Munas Ancol.

Ketika konflik mulai merebak, kami –Dewan Pertimbangan Golkar hasil Munas Riau 2009– sudah memperkirakan perseteruan akan berlangsung berkepanjangan. Konflik tak mungkin selesai dalam waktu singkat, dan karenanya mengancam keikutsertaan Golkar dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2015. 

Saya yang saat itu kebetulan menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Munas Riau mencoba satu solusi untuk mengatasinya. Dewan Pertimbangan Golkar mengusulkan penyelenggaraan Munas Luar Biasa sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai.

Usul itu tidak disetujui Dewan Pimpinan Pusat Golkar Munas Bali. Kami tak memaksa. Pak Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Golkar Munas Bali yakin konflik Golkar bisa selesai pertengahan April 2015, sehingga pada awal Juni partai bisa berkonsolidasi untuk pilkada.

Ternyata sampai April, konflik tak selesai. Pun pada hari H pilkada. Namun berkat upaya Pak Jusuf Kalla –Wakil Presiden RI dan mantan Ketua Umum Golkar– meyakinkan Komisi Pemilihan Umum bahwa tak masalah Golkar ikut pilkada selama kedua kubu menyepakati satu calon kepala daerah, maka KPU setuju Golkar menjadi peserta pilkada.

Hal tersebut, jika murni merujuk pada undang-undang pemilihan kepala daerah, tak bisa dilakukan. Sebab berdasarkan UU, semangatnya satu kepengurusan partai politik.

Golkar akhirnya memang ikut pilkada, tapi tak bisa berpartisipasi secara penuh. Faktanya, sulit bagi calon kepala daerah asal Golkar untuk mendapat dukungan kedua kubu secara bersamaan. Calon yang didukung Aburizal belum tentu didukung Agung Laksono. Demikian pula sebaliknya. 

Ketika misalnya saya berkampanye di kampung saya, Sibolga Sumatra Utara, calon incumbentSyafri Hutauruk didukung kubu Munas Bali Aburizal Bakrie, tapi tidak didukung kubu Munas Ancol Agung Laksono.

Fenomena calon kepala daerah usungan Golkar yang hanya didukung setengah hati itu ada banyak. Dari 269 pilkada di seluruh Indonesia pada Desember 2015, Golkar hanya ikut 116 pilkada. Dari 116 itu, Golkar memenangi 49 pilkada.

Pada 49 pilkada tersebut, calon yang diajukan Golkar juga diusung partai-partai lain. Jadi Golkar tidak bisa mengklaim itu kemenangan Golkar sendiri.

Secara keseluruhan dari total 269 pilkada, hanya 18 persen yang dapat dianggap dimenangi oleh Golkar. Artinya terjadi penurunan amat tajam.

Hasil survei persepsi publik dari beberapa lembaga survei bahkan menunjukkan elektabilitas Golkar tinggal 7-8 persen. Padahal pada pemilu terakhir tahun 2014, Golkar masih meraup 14 persen suara pemilih dan mendapat 91 kursi di DPR.

Maka kalau dikonversi ke jumlah kursi yang didapat di DPR, jika pemilu digelar saat ini, Golkar hanya mendapat 45 kursi parlemen. Ada penurunan.

Jika raihan Golkar pada tiap pemilu usai Reformasi dibandingkan, maka pada Pemilu 1999 Golkar berada di peringkat kedua dengan 120 kursi di DPR; pada Pemilu 2004 di peringkat pertama dengan perolehan 128 kursi parlemen; pada Pemilu 2009 saat Jusuf Kalla turun dari kursi Ketua Umum, mendapat 14,5 persen suara dengan 106 kursi di DPR; pada Pemilu 2014 ketika Aburizal Bakrie memimpin, hanya mendapat 91 kursi parlemen.

Jadi kalau ada pemilu lagi, bisa dibayangkan Golkar betul-betul tak lagi masuk kategori partai papan atas. Bahkan papan tengah pun bukan. Golkar akan jadi partai papan bawah. Ini jelas mengkhawatirkan.

Saya takut dengan masa depan Golkar. Padahal Golkar pada awal reformasi, di bawah kepemimpinan saya sebagai Ketua Umum, menghadapi cobaan berat dan bisa lolos, bisa menang pemilu.

Saat itu situasi amat berat. Golkar mendapat hujatan, intimidasi, dan cercaan. Aset dan kantor-kantor Golkar dirusak. Golkar hendak dibubarkan. Tapi di tengah itu semua, Golkar bisa meraih posisi nomor dua pada Pemilu 1999. PDIP yang pertama.

Begitu pun pada pemilu berikutnya tahun 2004, Golkar terus ditekan, membuat kami memperkuat basis politik di tanah air. Kami mencoba meyakinkan publik mendukung demokrasi, reformasi, dan antikorupsi kolusi serta nepotisme.

Lepas dari ujian mahaberat itu, Golkar kini justru terbelah. Konflik dan gugat-menggugat antara dua kubu kian tajam dan balas-berbalas hingga ke pengadilan. 

Golkar saat ini vakum dan dua kepengurusan yang ada tak punya keabsahan. Satu-satunya institusi di Golkar yang masih memiliki legal standing sesuai UU Partai Politik ialah Mahkamah Partai. Institusi ini pula yang nantinya akan banyak menentukan penyelesaian konflik Golkar.

Kubu Munas Bali, dalam rapat konsultasi Dewan Pimpinan Pusat dan Dewan Pimpinan Daerah tingkat I di Bali awal pekan ini, memutuskan untuk tidak menggelar Munas Luar Biasa sampai 2019. Ini berpotensi memperpanjang konflik.

Rapat konsultasi DPP-DPD Munas Bali juga memutuskan menegur Ketua Dewan Pertimbangan Golkar, yaitu saya. Terhadap teguran itu, saya katakan Dewan Pertimbangan merupakan institusi resmi hasil Munas yang berfungsi memberi saran penting dan strategis kepada partai, diminta atau tidak. Itu hak kami.

Kubu Munas Bali juga meminta Menteri Hukum dan HAM mengeluarkan Surat Keputusan pengesahan kepengurusan mereka, serta siap bergabung mendukung pemerintah seperti yang telah dilakukan Partai Amanat Nasional.

Surat permohonan pengesahan kepengurusan Munas Bali sudah dikirim ke Menkumham. Jadi untuk saat ini, kita tunggu apa respons Menkumham.


(Ditulis berdasar penuturan kepada Anggi Kusumadewi)

(agk/dlp)


Sumber
Share on Google Plus

    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar