Jakarta, CNN Indonesia -- Aan Mansyur ketiban sampur. Dia dipercaya produser Ada Apa dengan Cinta 2 (AADC 2) Mira Lesmana membuatkan puisi untuk film yang akan tayang pada April 2016.
Penyair yang bermukim di Makassar ini bukan nama asing di dunia literasi. Belum lama ini, beredar kumpulan puisinya, Melihat Api Bekerja (2015), bersama ilustrator Muhammad Taufiq atau dikenal dengan Emte.
Lihat juga:Rangga Masih Saja 'Cool' di Trailer 'AADC 2' |
Karyanya yang lain adalah Perempuan, Rumah Kenangan (2007), Kukila (2012), Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia (2014), dan Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi (2015).
Melalui surat elektronik kepada CNNIndonesia.com, Aan menjelaskan karya-karya puisinya yang dijadikan puisi Rangga. “Hal-hal yang diungkapkan dalam puisi-puisi tersebut menunjukkan cara Rangga memandang dunia,” tulisnya.
Lihat juga:Syuting AADC 2 Berbarengan Hari Sumpah Pemuda |
Berikut tanya jawab lengkap Aan Mansyur:
Bisa diceritakan saat Anda dihubungi Mira Lesmana?
Sebelum pameran kolaborasi rupa dan kata Melihat Api Bekerja, yakni pameran ilustrasi puisi-puisi saya dan Emte di Kemang. Mira menghubungi saya minta bertemu. Waktu itu dia sedang di Yogyakarta.
Dua hari kemudian, di Edwin's Gallery Kemang, tempat pameran itu berlangsung, Mira Lesmana datang melihat pameran sekaligus bertemu dan bicara mengenai puisi-puisi AADC 2. Dia mengajak saya terlibat dalam proses pembuatan film tersebut.
Saya sempat kaget. Saya bilang, "Serius mau ajak saya? Bukannya banyak penyair lain di Indonesia yang lebih bagus?" Tetapi, sekaligus saya merasa senang dan merasa tertantang.
Saya bertanya kenapa harus saya? Mira Lesmana tidak secara spesifik menyebutkan alasannya, tapi dia bilang selama ini dia membaca puisi-puisi saya dan menyukainya. Dia merasa puisi-puisi saya cocok menjadi bagian di AADC 2.
Sempat bertukar pikiran dengan Mira Lesmana? Adakah pesan khusus Mira terkait puisi yang Anda buat?
Pertama, tentu saja, saya meminta dia menjelaskan secara garis besar fungsi puisi di film tersebut. Kedua, saya meminta dia menceritakan semacam tema AADC 2.
Selebihnya, saya melakukan riset sendiri. Menonton lagi berkali-kali AADC, membaca berkali-kali skenario AADC 2, mencari tahu jenis-jenis bacaan Rangga selama tinggal di New York, melakukan riset tentang New York karena saya tidak pernah ke sana, dan lain-lain.
Saya melakukan riset untuk mengetahui karakter Rangga. Bahkan sampai kebiasaan-kebiasaan kecil yang sering dia lakukan di New York. Saya menelusuri buku-buku yang dia baca, pekerjaannya, pikiran-pikirannya terhadap berbagai hal, perasaan-perasaanya.
Mira Lesmana memberi saya kebebasan untuk menulis puisi-puisi sesuai yang saya inginkan. Syukurnya, dia puas dengan hasilnya.
Bagaimana Anda membuat pembeda antara puisi Aan Mansyur dan “puisi Rangga”?
Selama tiga bulan, saya merasa hidup di balik kepala Rangga. Hal-hal yang diungkapkan dalam puisi-puisi tersebut menunjukkan cara Rangga memandang dunia. Namun, tentu saja, puisi-puisi yang lahir itu juga puisi saya.
Di beberapa bagian memang ada kesulitan, tetapi saya juga merasa tidak perlu dibedakan. Maksud saya, saya juga pernah berada dalam hubungan cinta jarak jauh, saya pernah merindukan tempat kelahiran saya, saya pernah merasa terasing di tengah orang-orang sekitar yang tidak mengerti bahasa ibu saya, dan lain-lain.
Bisa beri bocoran, puisi Anda untuk AADC 2 dan apakah bakal “maut”?
Saya menulis 31 judul puisi untuk AADC 2. Beberapa di antaranya akan muncul di film. Tetapi, semua puisi itu akan terbit dalam satu buku khusus berjudul Tidak Ada New York Hari Ini.
Setidaknya, puisi-puisi itulah yang terbaik yang mampu saya tulis untuk kepentingan AADC 2. Hasilnya? Tunggu saja nanti. Setidaknya, semua pembaca awal puisi-puisi tersebut puas dengan hasilnya.
Siapa saja sastrawan/penyair yang menginspirasi Anda?
Banyak sekali. Khusus untuk puisi, saya mula-mula jatuh cinta dengan puisi ketika masih duduk di bangku Tsanawiyah. Di perpustakaan, saya menemukan buku puisi Subagio Sastrowardoyo dan sangat menyukai puisi-puisinya. Dari sana saya kemudian membaca semua buku puisi yang saya temukan.
Ketika masuk kuliah pada 1998, saya mengambil jurusan Sastra Inggris dan berkenalan dengan banyak penyair luar negeri. Saya kemudian mengenal nama-nama seperti Sylvia Plath, Anne Sexton, Allen Ginsberg, T.S. Eliot, Louise Gluck, Pablo Neruda, dan lain-lain.
Banyak alasan hingga saya menyukai karya-karya penyair itu dan masing-masing memiliki kekuatan yang menurut saya penting untuk saya pelajari.
Seberapa besar ketertarikan Anda pada karya Pablo Neruda? Karena nama penyair ini masuk juga dalam puisi Anda sebelumnya.
Salah satu penyair yang saya sukai karya-karyanya. Kadang-kadang saya berpikir dia bisa menulis apa saja dengan sangat indah. Tema apa saja, dari kisah cinta sampai tema-tema sosial-politik. Selain itu, bukan hanya mampu menghasilkan puisi yang indah tetapi dia sangat produktif.
Selain sastra, bacaan apa yang Anda sukai?
Sehari-hari saya bekerja sebagai pustakawan dan itu artinya saya membaca semua jenis buku, dari buku pertanian hingga filsafat, dari politik hingga ekonomi. Dan, untuk menulis puisi yang bagus, tentu saja, bukan cuma buku sastra yang diperlukan. Saya banyak membaca buku-buku hasil penelitian.
Bagaimana Anda melihat Makassar sebagai tempat berkesenian? Bagaimana jika dibandingkan dengan Jakarta?
Saya tidak pernah tinggal dan berkarya di Jakarta—saya hanya sesekali berkunjung ke sana. Saya tidak tahu bagaimana rasanya berkarya di sana. Yang saya tahu, banyak sekali persoalan di negeri ini yang akarnya ada di sana dan mestinya itu harus bisa membuat seniman-seniman di Jakarta menghasilkan karya-karya yang lebih kuat, penting, dan indah.
Sejujurnya, saya tidak suka Jakarta dalam banyak hal. Saya tidak pernah membayangkan diri saya tinggal di Jakarta—dan tidak ada hal yang cukup bisa menggoda saya untuk pindah ke Jakarta.
Setiap wilayah punya masalah dan tantangannya sendiri—dan kenapa saya harus lari dari tempat tinggal saya hanya untuk kenyamanan-kenyamanan tertentu yang belum tentu bisa saya dapatkan di tempat lain. Dan, lagi, tinggal di Makassar atau di Papua, bukan berarti tidak tahu apa-apa tentang Jakarta atau New York.
Aan Masyur (CNNIndonesia Rights Free/M. Fauzan Mukrim)
|
(sil/vga)
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar