YOGYA - Industri fashion di Yogyakarta mengandalkan produk-produk buatan tangan (handcraft) untuk menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan persaingan global ke depannya.
Jenis produk ini dinilai memiliki kekhasan tersendiri dan selama ini banyak diminati pasar luar negeri.
Local Chairman Indonesia Fashion Chamber (IFC) Chapter Yogyakarta, Lia Mustafa mengatakan, Yogyakarta memiliki ragam produk buatan tangan yang cukup banyak, semisal batik dan tenun.
Jenis ini menjadi keunggulan tersendiri sebagai sebuah produk mengingat tidak semua negara bisa mengerjakannya secara kompleks.
“Dulu kita pernah takut dengan membanjirnya produk tekstil printing motif batik dari China. Tapi itu akhirnya juga hilang dnegan sendirinya. Makanya kita bangga dengan batik sebagai kekuatan. Nah, dari sini kelihatan bahwa kekuatan kita memang di craft, hasil kerja tangan pengrajin,” kata Lia, Rabu (13/1/2016).
Produk fashion craft Yogyakarta disebutnya banyak terserap oleh pasar Eropa dan Asia.
Sementara produk ready to wear (siap pakai) dengan loose cutting yang lebih berani banyak ditujukan untuk pasar Amerika Serikat.
Dari sisi standar kualitas, fashion designer Indonesia dan Yogyakarta secara khusus dipandangnya mampu memenuhi permintaan dari pasar luar negeri.
Meski begitu, dalam mendukung terciptanya craft sebagai produk unggulan juga memerlukan penguatan di semua lini. Mulai dari edukasi pengguna untuk mengutamakan produk lokal, dorongan kepada pengrajin dengan program pemerintah, serta juga penguatan di sektor pengrajin dan profesionalisme desainer bersangkutan.
“Basis industrinya adalah fashion designer yang dituntut untuk selalu melahirkan karya-karya baru. Maka itu, untuk menyiasati kualitas sumber daya manusia, IFC memiliki program inkubasi hingga sekolah binaan. Harapannya, mereka semakin percaya diri berkarya dengan identitas masing-masing,” tukas Lia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, tiga kelompok komoditas utama dengan nilai ekspor tertinggi pada November 2015 adalah pakaian jadi bukan rajutan, barang-barang rajutan, dan barang-barang dari kulit. Persentase untuk produk tersebut masing-masing sebesar 37,84 persen, 15,09 persen, dan 12,95 persen.
Kepala BS DIY, Bambang Kristiawan mengatakan, barang-barang rajutan tercatat menjadi komoditas dengan perkembangan terbesar dari Oktober 2015 hingga November 2015 dengan peningkatan 36,82 persen.
Perkembangan terbesar dari November 2014 ke November 2015 (year on year) adalah komoditas bulu unggas dengan peningkatan sebesar 88,12 persen.
“Tiga negara utama tujuan ekspor barang pada November 2015 adalah Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang masing-masing sebesar 42,93 persen; 11,60 persen; dan 6,16 persen,” kata dia.
0 komentar:
Posting Komentar