Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Indonesia meningkatkan pengamanan serta perburuan terhadap kelompok radikal yang diduga mendukung ISIS pascaledakan yang terjadi Kamis (14/1) siang di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.
Penggerebekan atas terduga teroris pendukung ISIS dilakukan oleh Detasemen Khusus 88 di beberapa wilayah seperti Jakarta, Bekasi, Tegal, Cirebon, Kalimantan Timur, dan Poso. Penggerebekan dilakukan terutama setelah Kepolisian menduga para pelaku teror Thamrin diotaki Bahrun Naim yang disebut sebagai petinggi ISIS asal Indonesia yang kini berada di Raqaa, Suriah.
Terkiat upaya perburuan teroris tersebut, pengamat terorisme Universitas Indonesia Ridwan Habib meminta polisi untuk turut mewaspadai teror lanjutan oleh kelompok yang berafiliasi ke jaringan Al Qaeda.
"Kewaspadaan perlu dipasang terutama karena pemikiran mereka (pro Al Qaeda) ingin merebut simpati atau bersaing dengan para simpatisan ISIS dengan menyebarkan teror tandingan," kata Ridwan kepada CNN Indonesia.
Menurut Ridwan, dalam pola serangan terorisme di dunia internasional, terdapat rivalitas antara ISIS dan Al Qaeda. Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) sendiri merupakan pecahan dari Al Qaeda yang dipimpin oleh Abu Bakar al-Baghdadi.
"ISIS dideklarasikan oleh Abu Bakar al-Baghdadi pada 8 April 2013 saat terjadi konflik Suriah. Oleh karena itu orang-orang pro Al Qaeda aktif mengkritisi bahwa pendukung ISIS adalah pengkhianat. Sementara oleh ISIS sendiri, jaringan Al Qaeda disebut sebagai orang yang iri, jengkel dan dengki," kata Ridwan.
Kemungkinan adanya upaya serangan teror lanjutan oleh pendukung Al Qaeda di Indonesia, ujarnya, dapat dilihat dari serangan di Burkina Faso, Afrika, sehari setelah ledakan Jakarta, yang diduga dilakukan pendukung ISIS.
"Sel Al Qaeda di Maghreb Islam (AQIM) telah mendeklarasikan (serangan di Burkina Faso) itu sebagai serangan mereka," kata Ridwan.
Dalam serangan teror di Hotel Splendid Burkina Faso itu, sedikitnya 20 orang meninggal dunia. Hotel Splendid juga merupakan tempat menginap para pekerja Perserikatan Bangsa-Bangsa dan basis bagi tentara barat dan Perancis.
Ridwan mengatakan, serangan di Burkina Faso oleh kelompok pendukung Al Qaeda tersebut seolah menunjukkan adanya pertentangan dan perebutan kekuasaan serta pengaruh di antara kedua organisasi ekstremis Al Qaeda dan ISIS.
"Contoh lainnya adalah serangan ke kantor Charlie Hebdo di Perancis pada awal Januari 2015. Jaringan Al Qaeda di Peninsula Arab mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut," kata Ridwan.
Namun, ujar dia, setelahnya kembali terjadi serangan di Perancis pada 13 November 2015 di beberapa tempat yang menewaskan sedikitnya 130 orang. Serangan itu menimbulkan banyak korban karena dilancarkan di pusat keramaian seperti konser dan kafe.
Atas serangan tersebut, jaringan ISIS mengklaim bertanggung jawab. Serangan itu disebut ISIS dilakukan sebagai balasan atas serangan udara Perancis terhadap ISIS di Suriah dan Irak.
"Tapi kalau dilihat polanya selalu begitu. Setelah ISIS menyerang, Al Qaeda langsung menyerang. Selalu selang-menyelang. Semacam ada kompetisi. Saya mengkhawatirkan di Indonesia rivalitas itu akan tampak juga karena ledakan Thamrin merupakan serangan ISIS yang pertama kali di Indonesia sejak terbentuknya ISIS di sini pada 2013," ujar Ridwan.
Serangan teror lanjutan dari Al Qaeda, kata Ridwan, akan digunakan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa jaringan ini eksis di Indonesia dan memiliki jenis serangan yang lebih terkoordinasi.
"Oleh karena itu, serangan kemungkinan memasang high target seperti kedutaan asing, warga negara asing, dengan jumlah korban lebih banyak," ujar Ridwa.
Dua kubu kuat ekstremis
Ridwan menyatakan saat ini di Indonesia terdapat dua kubu jaringan radikal yang kuat, yakni jaringan pro-ISIS dan pro-Al Qaeda. Untuk basis pro-ISIS, kata dia, terdapat di beberapa daerah seperti Jawa tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tengah. Sementara itu militan pro-Al Qaeda lebih banyak bermukim di luar Jawa seperti Kalimantan dan Sulawesi.
"Namun keduanya sekarang kekurangan senjata dan bahan peledak sehingga yang bisa mereka lakukan adalah serangan apa adanya dan dengan bahan seadanya," kata Ridwan.
Menurut Ridwan, terdapat dua perbedaan pola serangan antara dua kelompok radikal tersebut. Untuk pro-ISIS biasanya tipe serangan mereka adalah membabi-buta dan menarget siapapun, baik sesama muslim atau kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, dan kaum lanjut usia.
"Untuk Al Qaeda biasanya hanya yang ada simbol Barat dan warga negara asing," kata Ridwan.
Militan Al Qaeda di Indonesia, ujarnya, juga turut dikirim ke Suriah, namun bukan untuk berperang bersama ISIS, melainkan untuk bergabung dengan Jabhat Al Nusra, ujar Ridwan.
Dalam ledakan dan baku tembak di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu, Kepolisian menduga aksi teror tersebut dilakukan oleh militan pendukung ISIS di Indonesia.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan sejauh ini aparatnya telah menangkap 12 orang yang diduga sebagai pelaku maupun terkait aksi teror di Thamrin.
(utd)
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar