Jakarta, CNN Indonesia -- Pada awal 2000-an musik Indonesia mulai mengalami modernisasi, mulai dari alat pemutar rekaman hingga aliran bermusik. Namun di sisi lain, panggung bagi para musisi terbilang masih minim.
Ketika itu, acara musik di kafe-kafe belum marak. Acara pentas seni di sekolah-sekolah hanya segelintir. Jikapun ada, penyelenggaraannya tidak konsisten atau terbatas bagi kalangan tertentu.
Maka bisa dibayangkan kegelisahan para musisi independent alias indie. Tanpa adanya panggung sebagai arena bermain yang memadai, mereka bingung di mana hendak memamerkan karya.Musisi-musisi indie di Jakarta pun memutar otak agar dapat melawan arus utama yang kuat dan menyelamatkan nyawa band-band mereka.
Salah satu pelaku pergerakan indie pada masa itu adalah Nasta Sutardjo, yang memiliki ide membuat acara musik indie di bar.
Pada 2002, Nasta dan kawan-kawan mendirikan bar Parc di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kelak menjadi bar legendaris.
Ketika berbincang dengan CNNIndonesia.com, belum lama ini, Nasta menceritakan sejarah terbentuknya Parc hingga tutup pada 2006.
"Jadi pas 2002 itu gue sama teman-teman gue diajak bikin bar, namanya Parc. Kami enggak cumanampilin band, tapi juga disko," kata Nasta.
"Barnya kecil banget, seukuran klinik dokter gigi mungkin. Waktu itu kami minjem speaker dari Aksara, lalu alat-alat musik dari Zeke and the Popo, anak-anak The Brandals pun membantu kami," lanjutnya.
Tak sekadar menggelar acara musik di Parc, Nasta juga memberikan tema unik, yakni Monday Mayhem untuk berdisko ria bersama para DJ, dan Thursday Riot untuk berjingkrakan dengan grup band indie.
Nasta juga mengikutsertakan Ruang Rupa alias RuRu, organisasi seni rupa kontemporer yang bermarkas di Tebet, Jakarta Selatan. Tak ketinggalan juga mengajak Direktur Program RuRu Indra Ameng.
"Saat itu, kami berbagi tugas. Nah, gue di bagian musik indie-nya. Waktu itu, karena gue lagi banyak proyek sama RuRu, gue ajak lah mereka untuk gabung, ada Indra Ameng juga," ujar Nasta.
Sempat Pesimis
Monday Mayhem dan Thursday Riot diadakan rutin seminggu sekali. Hal ini terbilang unik, karena acara musik lain hanya menghelat acara musik sebulan sekali atau bahkan setahun sekali.
Awalnya, Nasta sempat pesimis keberlangsungan Parc. Ia khawatir acara Monday Mayhem danThursday Riot tidak akan ramai dikunjungi orang-orang, terutama penikmat musik indie.
"Sempet pesimis, takut enggak ada yang dateng. Tapi kami niat banget, kami dekorasi, kami bawaartwork dari Ruang Rupa, ada juga senimannya," Nasta menceritakan kekhawatirannya.
Ternyata kekhawatiran Nasta tak terbukti. Parc tak sekadar hype. Lebih dari itu, Parc menjadi rumah komunitas musik indie yang sukses melahirkan musisi-musisi indie Tanah Air terkemuka.
Kehadiran Parc di tengah-tengah sepinya acara musik seakan menjadi malaikat penyelamat bagi kaum muda pencinta musik pada zamannya.
"Gue enggak nyangka, kami baru bikin sekali dan dua kali, enggak taunya langsung jadi tempat anak indies. Pas banget itu momennya, Goodnight Electric baru terbentuk, terus ada C'mon Lennon, The S.I.G.I.T. hingga The Upstairs," ujar Nasta.
"Terdapat dua elemen yang menyatu, komunitas seni dan musik. Akhirnya, acara musik di Parc tidak hanya diramaikan oleh anak musik, tapi juga anak seni," lanjutnya dengan ekspresi wajah sumringah.
Tanpa Pamrih
Seiring berjalannya waktu, nama Parc pun bergaung di Tanah Air, meski masih dikenal dalam ruang lingkup underground. Alhasil, Parc dibanjiri oleh rekaman-rekaman demo yang dikirim band-band indie di Indonesia yang ingin unjuk gigi di bar kecil itu.
Nasta dan kawan-kawannya kerap menampilkan band-band yang terbilang baru. Hal itu dilakukan agar membantu menaikkan eksistensi dan pamor kaum indie yang ingin unjuk gigi.
"Kami membuat acara di Parc itu tanpa pamrih. Ada yang nonton atau tidak ada yang nonton,kami hajar terus. Di situ, kami bangun komunitas, jadi orang otomatis dateng," kata Nasta.
Parc memutuskan untuk merekam momen bersejarah dalam musik Indonesia itu dalam sebuah album musik kompilasi dari band-band yang pernah tampil di Parc.
Diberi nama RIOT: The Thursday Riot Compilation, kompilasi itu berisikan band-band indie, seperti Mocca, The Sastro, Bangku Taman, The Milo, The Safari, serta grup musik indie lain.
Lupakan Uang!
Namun sayang, rumah kaum indies itu harus ditutup pada 2006. Alasannya sepele, mengutip pernyataan Nasta, ada unsur kejenuhan yang menghantui kaum muda saat itu.
"Tahun 2006 kami tutup, mungkin karena ada rasa kejenuhan kali ya, acaranya mulai gitu-gitu saja," ujar Nasta.
Akan tetapi, Thursday Riot tidak hilang dari peredaran. Acara musik itu dibeli oleh Prambors, salah satu stasiun radio anak muda ternama di Indonesia.
Nasta pun tidak berhenti sampai di situ. Ia terus melakukan kurasi band-band yang bisa on airdi acara tersebut.
Sayangnya, acara radio yang bertema Huru-hara di Udara dan dipandu oleh penyiar gokilRian Pelor itu akhirnya juga harus berhenti mengudara.
Menurut Nasta, membangun komunitas musik melalui bar itu sangat penting. Walaupun hal itu terdengar seperti hal kecil, namun menurut Nasta, segala yang besar dimulai dari hal yang kecil.
"Penting banget buat komunitas musik dari bar, komunitas itu kan pasti berangkat dari sesuatu yang kecil dan terbentuk sendiri. Kalau misalkan tidak ada yang memulai dari kecil, ya enggak akan timbul hal besar," kata Nasta.
"Apalagi ada orang yang punya bar dan memiliki passion di musik, pasti akan lebih bagus lagi acaranya, itu penting banget," lanjutnya.
Nasta berharap bahwa ke depannya akan ada lagi acara musik di bar kecil yang bisa melahirkan musisi-musisi indie ternama. Ia ingin kaum muda juga giat mengadakan acara-acara musik di bar.
"Harapan saya, anak-anak muda sekarang lebih giat dong, turun takhta jadinya dari yang tua ke muda. Hahaha. Sekarang buat juga komunitas, tapi jangan jadikan uang sebagai tujuan utama."
(ard/vga)
Ketika itu, acara musik di kafe-kafe belum marak. Acara pentas seni di sekolah-sekolah hanya segelintir. Jikapun ada, penyelenggaraannya tidak konsisten atau terbatas bagi kalangan tertentu.
Maka bisa dibayangkan kegelisahan para musisi independent alias indie. Tanpa adanya panggung sebagai arena bermain yang memadai, mereka bingung di mana hendak memamerkan karya.Musisi-musisi indie di Jakarta pun memutar otak agar dapat melawan arus utama yang kuat dan menyelamatkan nyawa band-band mereka.
Salah satu pelaku pergerakan indie pada masa itu adalah Nasta Sutardjo, yang memiliki ide membuat acara musik indie di bar.
Pada 2002, Nasta dan kawan-kawan mendirikan bar Parc di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kelak menjadi bar legendaris.
Ketika berbincang dengan CNNIndonesia.com, belum lama ini, Nasta menceritakan sejarah terbentuknya Parc hingga tutup pada 2006.
"Jadi pas 2002 itu gue sama teman-teman gue diajak bikin bar, namanya Parc. Kami enggak cumanampilin band, tapi juga disko," kata Nasta.
"Barnya kecil banget, seukuran klinik dokter gigi mungkin. Waktu itu kami minjem speaker dari Aksara, lalu alat-alat musik dari Zeke and the Popo, anak-anak The Brandals pun membantu kami," lanjutnya.
Tak sekadar menggelar acara musik di Parc, Nasta juga memberikan tema unik, yakni Monday Mayhem untuk berdisko ria bersama para DJ, dan Thursday Riot untuk berjingkrakan dengan grup band indie.
Nasta juga mengikutsertakan Ruang Rupa alias RuRu, organisasi seni rupa kontemporer yang bermarkas di Tebet, Jakarta Selatan. Tak ketinggalan juga mengajak Direktur Program RuRu Indra Ameng.
"Saat itu, kami berbagi tugas. Nah, gue di bagian musik indie-nya. Waktu itu, karena gue lagi banyak proyek sama RuRu, gue ajak lah mereka untuk gabung, ada Indra Ameng juga," ujar Nasta.
Sempat Pesimis
Monday Mayhem dan Thursday Riot diadakan rutin seminggu sekali. Hal ini terbilang unik, karena acara musik lain hanya menghelat acara musik sebulan sekali atau bahkan setahun sekali.
Awalnya, Nasta sempat pesimis keberlangsungan Parc. Ia khawatir acara Monday Mayhem danThursday Riot tidak akan ramai dikunjungi orang-orang, terutama penikmat musik indie.
"Sempet pesimis, takut enggak ada yang dateng. Tapi kami niat banget, kami dekorasi, kami bawaartwork dari Ruang Rupa, ada juga senimannya," Nasta menceritakan kekhawatirannya.
Ternyata kekhawatiran Nasta tak terbukti. Parc tak sekadar hype. Lebih dari itu, Parc menjadi rumah komunitas musik indie yang sukses melahirkan musisi-musisi indie Tanah Air terkemuka.
Buat juga komunitas, tapi jangan jadikan uang sebagai tujuan utama.Nasta Sutardjo, salah satu pendiri bar Parc. |
"Gue enggak nyangka, kami baru bikin sekali dan dua kali, enggak taunya langsung jadi tempat anak indies. Pas banget itu momennya, Goodnight Electric baru terbentuk, terus ada C'mon Lennon, The S.I.G.I.T. hingga The Upstairs," ujar Nasta.
"Terdapat dua elemen yang menyatu, komunitas seni dan musik. Akhirnya, acara musik di Parc tidak hanya diramaikan oleh anak musik, tapi juga anak seni," lanjutnya dengan ekspresi wajah sumringah.
Tanpa Pamrih
Seiring berjalannya waktu, nama Parc pun bergaung di Tanah Air, meski masih dikenal dalam ruang lingkup underground. Alhasil, Parc dibanjiri oleh rekaman-rekaman demo yang dikirim band-band indie di Indonesia yang ingin unjuk gigi di bar kecil itu.
Nasta dan kawan-kawannya kerap menampilkan band-band yang terbilang baru. Hal itu dilakukan agar membantu menaikkan eksistensi dan pamor kaum indie yang ingin unjuk gigi.
"Kami membuat acara di Parc itu tanpa pamrih. Ada yang nonton atau tidak ada yang nonton,kami hajar terus. Di situ, kami bangun komunitas, jadi orang otomatis dateng," kata Nasta.
Parc memutuskan untuk merekam momen bersejarah dalam musik Indonesia itu dalam sebuah album musik kompilasi dari band-band yang pernah tampil di Parc.
Diberi nama RIOT: The Thursday Riot Compilation, kompilasi itu berisikan band-band indie, seperti Mocca, The Sastro, Bangku Taman, The Milo, The Safari, serta grup musik indie lain.
Lupakan Uang!
Namun sayang, rumah kaum indies itu harus ditutup pada 2006. Alasannya sepele, mengutip pernyataan Nasta, ada unsur kejenuhan yang menghantui kaum muda saat itu.
"Tahun 2006 kami tutup, mungkin karena ada rasa kejenuhan kali ya, acaranya mulai gitu-gitu saja," ujar Nasta.
Akan tetapi, Thursday Riot tidak hilang dari peredaran. Acara musik itu dibeli oleh Prambors, salah satu stasiun radio anak muda ternama di Indonesia.
Kita membuat acara di Parc itu tanpa pamrih. Ada yang nonton atau tidak kita hajar terus.Nasta Sutardjo, salah satu pendiri bar Parc. |
Sayangnya, acara radio yang bertema Huru-hara di Udara dan dipandu oleh penyiar gokilRian Pelor itu akhirnya juga harus berhenti mengudara.
Menurut Nasta, membangun komunitas musik melalui bar itu sangat penting. Walaupun hal itu terdengar seperti hal kecil, namun menurut Nasta, segala yang besar dimulai dari hal yang kecil.
"Penting banget buat komunitas musik dari bar, komunitas itu kan pasti berangkat dari sesuatu yang kecil dan terbentuk sendiri. Kalau misalkan tidak ada yang memulai dari kecil, ya enggak akan timbul hal besar," kata Nasta.
"Apalagi ada orang yang punya bar dan memiliki passion di musik, pasti akan lebih bagus lagi acaranya, itu penting banget," lanjutnya.
Nasta berharap bahwa ke depannya akan ada lagi acara musik di bar kecil yang bisa melahirkan musisi-musisi indie ternama. Ia ingin kaum muda juga giat mengadakan acara-acara musik di bar.
"Harapan saya, anak-anak muda sekarang lebih giat dong, turun takhta jadinya dari yang tua ke muda. Hahaha. Sekarang buat juga komunitas, tapi jangan jadikan uang sebagai tujuan utama."
(ard/vga)
0 komentar:
Posting Komentar