Sineas Indonesia Mampu 'Terbang' ke Panggung Dunia


SingapuraCNN Indonesia -- Toronto, Busan, Venice, sampai Cannes. Di hampir semua festival besar dunia tahun ini, film  Indonesia diputar. Sutradara Mencari Hilal, Ismail Basbeth bahkan mengaku dapat pertanyaan menarik: "Apa yang tengah terjadi dengan sinema Indonesia?"

Paolo Bertolin, Programmer Venice International Film Festival mengatakan pada CNN Indonesia saat bertemu dalam acara Asia TV Forum dan Screen Singapore di Negeri Singa baru-baru ini, prestasi Indonesia itu tidak dicapai secara tiba-tiba.

Sebelumnya, ia sudah melihat ada gelombang sineas berkualitas dari Negeri Khatulistiwa yang "mengadu nasib" ke festival-festival internasional. "Riri Riza, Garin Nugroho, Teddy Soeriaatmadja, mereka pembuat film yang luar biasa," kata Paolo menyebutkan.

Namun tak dapat dipungkiri, tahun ini ada peningkatan luar biasa dari sineas muda Indonesia. Ia menyebut nama Joko Anwar, Ismail Basbeth, Mouly Surya, Sidi Saleh, dan masih banyak sutradara Indonesia lain.

"Kualitas film yang mereka buat mampu membawa filmnya 'terbang,'" ujar Paolo.

Pada era Garin, dengan salah satu karyanya yang berjudul Opera Jawa, film Indonesia seperti punya identitas yang lebih kultural. Sutradara-sutradara muda masa kini, punya formula "canggih" yang membuat film mereka relevan dengan kondisi sekarang, tanpa melupakan kultur Indonesia.

"Yang dilakukan Joko Anwar contohnya. Horor atau thriller-nya membawa masa lalu, tetapi dengan pendekatan yang 'hybrid' ke masa kini. Kalau yang lain, lebih kontemporer," ujar Paolo yang mengikuti film Indonesia.

Ia melihat masing-masing sutradara punya ciri khas dan ketertarikan isu yang berbeda-beda. "Saya tidak bisa mendeteksi bahwa Yosep Anggi Noen dan Ifa Isfansyah sama-sama dari Yogyakarta, misalnya. Mereka berbeda," tutur Paolo mencontohkan.

Tanpa mendiskreditkan sutradara generasi sebelumnya, Paolo melihat sineas muda Indonesia mulai bisa bersanding sejajar dengan pembuat film dari negara lain. "Mereka bisa merasuk ke pembicaraan yang sedang terjadi di dunia," katanya lagi.

Ini merupakan fenomena yang baru terjadi pada 2015. Penyebabnya mungkin internet, yang memudahkan mereka lebih memahami isu global. Adanya pembajakan, juga memungkinkan semua film diakses dengan mudah. Selain itu, upaya merasuk ke festival internasional juga memungkinkan para sineas menonton film sineas lain.

"Mereka (sineas Indonesia) seperti memakan film, mencernanya, lalu memproduksi jenis sinema yang baru. Bukan menyontek tetapi menyerap, lalu menemukan cara baru mengekspresikan pesan mereka," kata Paolo.

"Maka, mereka bisa berbicara dengan penonton global di level yang sama seperti India, Argentina, Meksiko, dan lainnya."

Meski begitu, bukan lantas Indonesia bisa sombong. Dengan filmnya mulai dikenal, tidak berarti semua penyelenggara festival langsung terbelalak kesenangan saat mereka menerima film-film dari sineas Indonesia.

Faktanya, kata Paolo, menjadi Indonesia saja tidak bisa menjadi nilai tambah yang penting untuk berjaya di festival dunia. "Adalah nilai tambah, jika film itu bagus. Anda bisa bersanding dengan negara lain, tapi bukan karena Anda sekadar Indonesia. Kualitas film lebih penting," tegasnya.

Untuk meningkatkan apa yang kini sudah ada, menurut Paolo, sineas tak perlu melakukan banyak hal. Yang harus berbenah, menurutnya adalah pemerintah. Ia masih melihat kurangnya dukungan bagi perfilman nasional.

"Banyak potensi di Indonesia. Bukan hanya film, tetapi juga kultur. Sineas sering syuting mengeksplor budaya itu, di tempat yang jauh, tapi pemerintah tidak mendukung," katanya. Banyak pula film independen yang sulit diproduksi maupun didistribusikan karena kurang dana.

"Butuh dukungan baik secara finansial maupun institusional. Tidak harus dengan sertifikat, tapi dengan membiarkan mereka melakukan apa yang ingin dilakukan," katanya. Pemerintah butuh organisasi yang mendukung produksi, biaya, dan distribusi. (rsa)


Sumber
Share on Google Plus

    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar