Perbincangan Tentang Lokal, Kosmpolitan dan Relasional Gedung Societet TBY


Public Lecture bersama Nicolas Bourriaud (FR) dengan moderator; Enin Supriyanto (ID) ini berlangsung pada Selasa, 17 November 2015 pada pukul 9.30 hingga pukul 12.00 WIB di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta, Jl. Sri Wedani No. 1 Yogyakarta.

“20 Tahun Perjalanan dari Relational Aesthetic menuju Altermodern” Dalam senarai perhelatan Biennale Jogja XIII 2015, Simposium Khatulistiwa meluncurkan sejumlah naskah yang disampaikan dan diperbincangkan dalam Simposium Khatulistiwa 2014 dengan judul “SK 2014 – Orang dan Orang Banyak: Praktik Etika dan Estetika dalam Demokrasi Abad ke-21”. 

Bersamaan dengan itu, Simposium Khatulistiwa juga menyelenggarakan sesi VIRAL sebagai bagian dari Biennale Forum yang mengundang Nicolas Bourriaud untuk membicarakan landasan pemikiran altermodern, sebuah konsep yang digagas dan dilaksanakannya dalam Tate Triennial 2009, Inggris. Pada awal 1990-an, Bourriaud menciptakan terma relational aesthetic (yang kini kerap digunakan untuk merujuk praktik-praktik artistik yang melibatkan orang banyak). Simposium Khatulistiwa tertarik untuk melihat altermodern sebagai kelanjutan dari pemikiran relational aesthetic yang berbasis pengalaman dan pemikiran kritis.

Nicolas Bourriaud menjabat Direktur dari École Nationale Supérieure des Beaux-Arts, Perancis dari 2011 hingga Juli 2015. Sebelumnya, bersama Jérôme Sans, Ia mendirikan dan menjadi co-direktur  Palais de Tokyo, Paris. Ia menjadi kurator seni kontemporer Gulbenkian di Tate Britain, London dari 2008-2010 dan di tahun 2009 ia mengkurasi Tate Triennial ke-4 di sana.

Dalam kuliah umumnya Nicolas Bourriaud mengatakan bahwa ‘Relational Aesthetic muncul ketika perkembangan teknologi informasi belum semasif sekarang. Konsep ini juga sudah banyak menuai kritik, terutama dari aliran filsafat spekulatif relaism, karena sifatnya yang antroposentris, bahwa manusia sebagai pusat semesta.’

Sementara pembicaraan soal keberadaan manusia di dunia tidak bisa terlepas dari diskusi soal hubungan manusia dan elemen lain di sekitarnya, seperti hewan, mesin, alam bahkan tumbuhan.

Dari dialektikan konsep ini, kita bisa melakukan kembali evaluasi keberadaan umat manusia di dunia dan meninjau ulang hubungan-hubungan, baik hubungan sosial dan hubungan dengan alam yang muncul.

Nicolas juga mengatakan bahwa ‘Perkembangan relational Aesthetic yang berupaya mewujudkan kesetaraan antar elemen fisik dalam keseharian kita ini lebih menekankan aspek pengalaman dari seni. Hal ini juga terkait erat dengan persoalan karya, seniman dan publik, serta hubungannya dengan posisi masing-masing yang bisa selalu dipermainkan dan dibongkar pasang’.

Dalam hal ini Nicolas juga menekankan bahwa seni harus bisa menjadi semacam penerjemah di tengah situasi yang serba dilematis.

Biennale Forum ini merupakan rangkaian dari penyelenggaraan Biennale Jogja XIII yang merupakan bagian dari program edukasi publik. Dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut dari tanggal 17 sampai dengan 19 November 2015. Bersifat gratis dan di laksanakan dalam dua bahasa, yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.


Untuk hari pertama peserta yang turut serta dalam Biennale Forum lebih dari 200 orang. Esok hari Biennale Forum akan di laksanakan kembali di Ruang Concert Hall, Pasca Sarjana ISI Jl. Suryodiningratan No. 8 Yogyakarta, dengan pembicara yang tidak kalah menarik yaitu Vera Mey (Kamboja – New Zealand), Jannice Kim (Korea Selatan) dan Agung Hujatnika (Indonesia) dengan tema Biennale sebagai Platform Pertukaran Budaya dan pada hari terakhir dengan tema yang sama, dengan pembicara Mami Kataoka (Jepang), Syafiatudina (Indonesia), Joned Suryatmoko (Indonesia) serta Rain Rosidi (Indonesia).

(res)
Share on Google Plus

    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar