Jakarta, CNN Indonesia -- Jauh-jauh menggarap album musik di luar negeri bersama musisi ternama, tak membuat Dewa Budjana tertarik untuk mengedarkan karyanya di level dunia. “Saya lebih senang dan bangga berpentas keliling Indonesia,” kata sang gitaris, beberapa waktu lalu.
Padahal album solo ke-delapan Hasta Karma digarap bersama Joe Locke (vibrafon), juga Ben Williams (upright bass) dan Antonio Sanchez (drum). Sanchez tak lain otak di balik pembuatan musik pengiring (scoring) film kaliber Oscar, Birdman.
“Saya senang formasi ini, melibatkan berbagai bangsa,” kata gitaris grup band Gigi. “Suatu keberuntungan mereka mau diajak bekerja sama. Rasanya beda bermain musik dengan musisi yang memiliki nama besar.”
“Musik sudah membudaya di Barat, sudah tercipta spirit dan standar, juga kompetitif. Musisi Indonesia menjalin kerja sama dengan musisi luar negeri karena menaruh respek terhadap nilai, kualitas, dan cita rasa karya mereka," kata Moko dari Brotherland Studio, Jakarta. (CNNIndonesia Internet/dok. abbeyroad.com)
|
Hal senada juga disampaikan Arie Legowo, A&R Manager PT Warner Music Indonesia. Kebutuhan musisi Indonesia berinvasi ke luar negeri untuk memoles karya (mixing danmastering) bukan lantaran Indonesia tak memiliki peralatan atau studio memadai.
“Satu hal yang membedakan adalah sumber daya manusia atau SDM. Itu hal yang tidak bisa dibeli,” kata Arie kepada CNN Indonesia via sambungan telepon (6/10). “Musisi Indonesia punya selera sendiri, ingin bekerja sama dengan engineer, musisi yang terkenal atau cocok.”
Hal ini dimaklumi Harmoko Aguswan alias Moko, sound engineer sekaligus pemilik Brotherland Studio, mengingat musisi dan studio di luar negeri, macam di Inggris atau Amerika Serikat, memiliki jam terbang jauh lebih tinggi ketimbang Indonesia.
Mau tak mau, musisi Indonesia memandang musisi serta studio musik di Inggris atau Amerika Serikat, sebagai kiblat. Walaupun boleh dikatakan studionya sendiri tidak terlampau mewah, namun pegiat musiknya sudah memiliki jam terbang tinggi.
Moko sendiri telah menyambangi berbagai studio musik, khususnya di Amerika Serikat, antara lain Blackbird Studio di Nashville, Cello Studio dan Ocean Way, juga Westlake Studio.
“Musik sudah membudaya di Barat, sudah tercipta spirit dan standar, juga kompetitif. Musisi Indonesia menjalin kerja sama dengan musisi luar negeri karena menaruh respek terhadap nilai, kualitas, dan cita rasa karya mereka.”
Dikatakan Moko, yang mengenyam studi music engineering di Los Angeles, dijalinnya kerja sama dengan musisi asing, bukan hanya karena secara kualitas mereka mumpuni, melainkan jasa kreatif yang mereka tawarkan sesuai kebutuhan atau keinginan musisi Indonesia.
"Kita menyukai karya si engineer, kita ingin karya kita digarap atau diramu olehnya," kata Moko yang pernah bekerja sama dengan sound engineer Reid F. Shippen, Brad Blackwood, Dave Collins.
Moko mencontohkan, album rohani musisi Indonesia JPCC Worship yang digarap mix engineerpapan atas di Amerika Serikat, Sam Gibson, di Chapel Studio di Hereford, Inggris.
Hasilnya setimpal, bukan hanya dari sisi teknis, juga cita rasa. Album itu disukai publik dan menduduki posisi puncak iTunes selama hampir dua bulan.
Harus diakui, standar kerja dan quality control pekerja musik di luar negeri memang berbeda. Namun semua itu bisa terealisir juga tergantung permintaan atau keinginan si musisi Indonesia sendiri, demikian disampaikan Adib Hidayat, Pemimpin Redaksi Rolling Stone Indonesia.
“Musisi Indonesia yang bersangkutan ingin bentuk profesionalitas atau perbedaan karakter soundseperti apa, dan ingin mastering seperti band luar mana? Semua tergantung permintaan si musisi Indonesia sendiri,” kata Adib kepada CNN Indonesia via sambungan telepon (6/10).
Bila hasil akhirnya tersimak beda atau lebih bagus, tak terlepas sentuhan atau standar pekerja musik asing yang memang beda. Walau kadang, diakui Adib, ada juga yang hasilnya tidak beda antara dipoles di studio musik dalam negeri atau luar negeri.
Pada akhirnya, yang membuat berbeda adalah nilai historis studio musik, macam Abbey Road Studios. “Nilai historis itu tidak bisa dibeli,” kata Adib. “Itu gimmick marketing yang membuat kelas suatu album musik berbeda.”
Hal serupa juga diakui Moko, tak hanya nilai historis, juga prestise. Apalagi The Beatles pernah rekaman di studio itu, maka musisi lain, termasuk asal Indonesia, pun ingin merasakan pengalaman yang sama di Abbey Road.
Pada akhirnya, yang membuat berbeda adalah nilai historis studio musik, macam Abbey Road Studios. “Nilai historis itu tidak bisa dibeli,” kata Adib. “Itu gimmick marketing yang membuat kelas suatu album musik berbeda.” (CNNIndonesia /Getty Images Tim Whitby)
|
Namun dikatakan Arie, tidak semua musisi harus terbang ke luar negeri untuk memoles karyanya. Artis di bawah payung Warner Music Indonesia, seperti Krisdayanti alias KD pernah melakukan rekaman di Australia dan Singapura.
Di lain waktu, KD tak ikut ke luar negeri, melainkan materi album musiknya saja. Adanya internet, memudahkan penggarapan album sampai tahap mixing dan mastering, tanpa perlu melibatkan musisinya, cukup materi rekaman album musiknya saja.
Sekali lagi, “Kita tinggal mencari sound engineer yang style-nya paling cocok diajak bekerja sama,” kata Arie. Bila didapat sound engineer yang tersohor, hal itu, diakui Arie sangat bagus untuk promosi album musik si musisi Indonesia.
Di luar semua itu, Adib menilai, penikmat musik atau penggemar juga perlu membekali diri dengan peralatan audio yang memadai. Sebab musik yang bagus namun didengarkan melalui alat dengar seperti headphone yang tak memadai, hanyalah sia—sia.
“Speaker atau headphone yang digunakan untuk mendengarkan lagu juga harus bagus, dan cocok untuk menilai esensi materi lagunya,” kata Adib. “Justru di situlah kenikmatan menyimak lagu. Peralatan dengar juga mempengaruhi kualitas suara.” (vga/vga)
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar