Liputan6.com, Jakarta - Indonesia tersohor sebagai salah satu penghasil mutiara terbesar di Indonesia. Kualitasnya pun sudah diakui dunia. Sayangnya, pengusaha asing hanya mengeksploitasi sumber daya mutiara yang melimpah di Timur Indonesia dan berbuat curang dengan melakukan ekspor ilegal.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dalam Konferensi Pers Penggagalan Ekspor Mutiara Ilegal, mengungkapkan, kebanyakan pembudidaya mutiara adalah perusahaan asing yang menjalani bisnisnya di Indonesia Timur.
"Perusahaan asing yang menjadi farming (pembudidaya) ini hanya sedikit mempekerjakan orang lokal, digantung-gantung saja, bahkan devisanya juga tidak di parkir di sini karena dia bukan orang Indonesia," tegas Susi di kantornya, Jakarta, Selasa (12/1/2016).
Mirisnya lagi, kata Susi, Indonesia hanya menjadi tempat pengambilan atau eksploitasi sumber daya alam termasuk mutiara dengan keuntungan bagi Negara sangat minim. Perusahaan asing ini, sambungnya, terus merahasikan cara penyuntikkan kerang untuk menghasilkan mutiara budidaya yang berkualitas.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dalam Konferensi Pers Penggagalan Ekspor Mutiara Ilegal, mengungkapkan, kebanyakan pembudidaya mutiara adalah perusahaan asing yang menjalani bisnisnya di Indonesia Timur.
"Perusahaan asing yang menjadi farming (pembudidaya) ini hanya sedikit mempekerjakan orang lokal, digantung-gantung saja, bahkan devisanya juga tidak di parkir di sini karena dia bukan orang Indonesia," tegas Susi di kantornya, Jakarta, Selasa (12/1/2016).
Mirisnya lagi, kata Susi, Indonesia hanya menjadi tempat pengambilan atau eksploitasi sumber daya alam termasuk mutiara dengan keuntungan bagi Negara sangat minim. Perusahaan asing ini, sambungnya, terus merahasikan cara penyuntikkan kerang untuk menghasilkan mutiara budidaya yang berkualitas.
"Farming atau pemilik yang berasal dari luar negeri itu tidak mau transfer teknologi penyuntikan. Mereka datang suntik-suntik saja, lalu ditinggal, sedangkan yang jaga orang kita dan ternyata ekspornya ilegal," paparnya.
Susi berpendapat, bisnis eksploitasi mutiara ini begitu tertutup dengan lokasi jauh di daerah terpencil yang aksesnya sangat terbatas sehingga sulit dijangkau. Kegiatan bisnis di Indonesia dinilainya banyak yang abu-abu. Artinya seperti legal, padahal ilegal, asing tapi terkesan lokal.
"Terlalu banyak kegiatan ekonomi underground atau ilegal yang cuma mengeksploitasi sumber daya alam kita. Padahal eksploitasi harus hati-hati, jangan sampai suatu saat sumber daya alam kita habis, kita tidak dapat apa-apa lagi tanpa sisa," keluhnya.
Susi menambahkan, selama ini ekspor beberapa komoditas, seperti mutiara tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun bea keluar. Namun praktik bisnis mutiara ilegal mampu mengalahkan daya saing kegiatan yang legal karena mereka beroperasi tanpa biaya, tanpa risiko seperti membayar pajak dan lainnya.
"Pengusaha begini sudah digratiskan (PPN ekspor) tanpa pungutan, masih saja dilakukan ilegal untuk menghindari pajak lainnya, seperti pajak badan usaha, pajak perorangan," ia menerangkan.
Dengan kasus penggagalan 114 kg mutiara ke Hong Kong ini, kata Susi, semakin memantapkan langkah KKP menertibkan perusahaan-perusahaan pengeksploitasi sumber daya alam kelautan dan perikanan yang terbukti melakukan kegiatan bisnis secara ilegal.
"Kalau tidak diberantas atau ditertibkan, PDB Kelautan dan Perikanan kita tidak akan naik, iklim investasi tidak sehat, dan negara Indonesia tidak akan maju, karena cuma jadi tempat transit untuk praktik ilegal saja," jelas Susi. (Fik/Gdn)*
Susi berpendapat, bisnis eksploitasi mutiara ini begitu tertutup dengan lokasi jauh di daerah terpencil yang aksesnya sangat terbatas sehingga sulit dijangkau. Kegiatan bisnis di Indonesia dinilainya banyak yang abu-abu. Artinya seperti legal, padahal ilegal, asing tapi terkesan lokal.
"Terlalu banyak kegiatan ekonomi underground atau ilegal yang cuma mengeksploitasi sumber daya alam kita. Padahal eksploitasi harus hati-hati, jangan sampai suatu saat sumber daya alam kita habis, kita tidak dapat apa-apa lagi tanpa sisa," keluhnya.
Susi menambahkan, selama ini ekspor beberapa komoditas, seperti mutiara tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun bea keluar. Namun praktik bisnis mutiara ilegal mampu mengalahkan daya saing kegiatan yang legal karena mereka beroperasi tanpa biaya, tanpa risiko seperti membayar pajak dan lainnya.
"Pengusaha begini sudah digratiskan (PPN ekspor) tanpa pungutan, masih saja dilakukan ilegal untuk menghindari pajak lainnya, seperti pajak badan usaha, pajak perorangan," ia menerangkan.
Dengan kasus penggagalan 114 kg mutiara ke Hong Kong ini, kata Susi, semakin memantapkan langkah KKP menertibkan perusahaan-perusahaan pengeksploitasi sumber daya alam kelautan dan perikanan yang terbukti melakukan kegiatan bisnis secara ilegal.
"Kalau tidak diberantas atau ditertibkan, PDB Kelautan dan Perikanan kita tidak akan naik, iklim investasi tidak sehat, dan negara Indonesia tidak akan maju, karena cuma jadi tempat transit untuk praktik ilegal saja," jelas Susi. (Fik/Gdn)*
0 komentar:
Posting Komentar