Jejak Waktu dari Bar Ibukota yang Tak Tergulung Zaman


JakartaCNN Indonesia -- Mengunjungi kota besar seperti Jakarta, tak sulit menemukan bar untuk sekedar kumpul atau bercengkrama dengan orang terdekat. Cukup membuka mesin pencari dan mengetik kata kunci tentang bar yang diinginkan, maka semua tersedia dalam hitungan detik.

Di antara ratusan bar yang tersebar di seantero kota, beberapa menjadi saksi perjalanan Jakarta dari masa ke masa. 

Beberapa bar di Jakarta tergolong legendaris. Sebut saja Jaya Pub yang sudah berdiri sejak 1970an. Tempat itu masih ramai hingga kini, meski beragam bar dan kafe modern terus menjamur.

Jumlahnya yang tidak banyak, membuat bar-bar seangkatan Jaya Pub menjadi semakin asyik dikunjungi. Bukan hanya karena ikatan emosi dengan para pengunjung setianya, di bar tersebut, seakan ada jejak sejarah yang mengikuti perjalanan Jakarta.

Keberadaannya bar ‘jadul’ yang langka bukanlah tanpa sebab. Berkurangnya peminat, manajemen yang bermasalah, hingga harga sewa tempat yang berlipat ganda, membuat bar-bar lawas yang pernah jaya, harus rela menutup pintu selamanya. 

Demi bertahan, bar-bar legendaris menceritakan bagaimana mereka memutar otak dan bertarung strategi, demi tak tergulung zaman.

Pisa Cafe, Menteng, Jakarta Pusat, salah satunya. Usianya yang sudah melewati dua dasawarsa ‘bercokol’ sebagai tempat kongko berbagai kalangan, membuat kafe dan bar ini terbilang legendaris.
Suasana Pisa Cafe yang berlokasi di Jalan Teresia Menteng, Jakarta, Selasa, 19 Januari 2016. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Bukan cuma soal makanan dan minuman, Pisa Cafe juga menawarkan pertunjukan live music yang kini identik dengan namanya. Bahkan, Pisa Cafe menjadi tempat kelahiran musisi-musisi ternama Tanah Air. Sebut saja Ari Lasso dan Raisa. 

Lalu, apa resep langgeng Pisa Cafe? Glenndy, Marketing Coordinator Pisa Kafe mengatakan perkawinan citarasa lama dan inovasi yang selalu baru, membuat pelanggan selalu kembali.

"Kami bersyukur masih ramai serta pelanggan masih setia. Kami tidak terpikirkan untuk mengubah apapun yang sudah menjadi ciri khas kami," kata Glenndy.

"Tapi kami tetap akan menawarkan produk-produk baru, karena itu berpengaruh pada kedatangan pengunjung. Juga ditambah dengan penampilan band yang tepat, maka pengunjung akan kembali. Dan kami juga selalu mendengarkan penilaian dari pelanggan.” 

Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, begitu juga dengan Jaya Pub yang berlokasi di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.

Jika Pisa Cafe mengombinasikan rasa lama dan baru, Jaya Pub justru bertahan dengan segala ‘kejadulannya’. Malah, menurut pengelola bar yang sudah berumur lebih dari 40 tahun itu, tradisi membawa hoki.

Didirikan oleh Frans Tumbuan dan Rima Melati pada 40 tahun yang lalu. Jaya Pub masih konsisten dengan gaya, cita rasa, bahkan para pelayannya. 

Maka, jangan heran, bila berkunjung ke bar yang terletak di bagian belakang kompleks Gedung Jaya ini, Anda disambut dengan pelayan berusia setengah baya dengan seragam antik. Kontras dengan pelayan muda dan modis ala bar dan kafe modern.

"Banyak masukan dari tamu yang meminta Jaya Pub mempertahankan ciri khasnya, maka kami menghargai dengan tidak mengubah apapun. Kami percaya bahwa keunikan dari Jaya Pub adalah sejarahnya yang melegenda," kata Ardi, perwakilan Jaya Pub, kepada CNNIndonesia.com.
Suasana The Jaya Pub yang berada di Gedung Jaya Jalan MH Thamrin, Jakarta, Selasa, 19 Januari 2016. The Jaya Pub merupakan bar restaurant yang berdiri sejak 1975. (CNN Indonesia/Safir Makki)
"Karyawan di Jaya Pub lebih didominasi oleh karyawan senior dan kebanyakan bekerja hingga masa pensiun mereka. Bahkan, setelah pensiun mereka ingin kembali beraktifitas di sini dan kami pun menerima mereka dengan tangan terbuka." 

Nuansa bar ala Eropa terasa kental begitu memasuki Jaya Pub. Penerangan redup, panggung kecil untuk band, serta berbagai hiasan dinding berupa poster dan kata-kata mutiara dalam bingkai, menunjukkan usia dari bar pertama di Jakarta ini. 

Keteguhan itulah yang membawa Jaya Pub tetap berdiri, dan tetap hoki didatangi oleh pengunjung. Bahkan tak butuh waktu lama bagi Jaya Pub untuk kembali pulih mendapatkan kepercayaan pengunjung setelah ledakan yang terjadi tak lebih dari 500 meter, beberapa waktu lalu.

Di sisi lain, dibandingkan dua bar lainnya, Black Cat bisa dibilang ‘anak bawang’. Tapi bukan berarti bar yang dulu terkenal sebagai jazz club itu tak legendaris. 

Di usianya yang nyaris satu dekade, Black Cat pernah menjadi rumah bagi musisi jazz sohor, seperti Otti Jamalus, Barry Likumahuwa, dan Idang Rasjidi.

Berbeda Jaya Pub yang tetep kekeuh dengan nuansa baheula, atau Pisa Cafe yang berkompromi dengan era modern, Black Cat justru banting setir demi mengikuti zaman.

Semakin gencarnya bar-bar lain bermunculan, mereka akhirnya mulai mengubah konsep dan memasukkan unsur Top 40. Dari perubahan itu, sedikit demi sedikit tema musik mereka berganti untuk masing-masing genre.
Home band melantunkan lagu-lagu jazz untuk menemani pengunjung menikmati hidangan di Blackcat Jazz&Blues. Jakarta, Rabu, 20 Januari 2016. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Perubahan yang terjadi baru pada 2015 itu membawa angin segar pada Black Cat. Jumlah pengunjung mereka meningkat berkali lipat dibanding tahun-tahun sebelumnya, bahkan hampir selalu penuh. Di akhir pekan, pengunjung Black Cat bisa membeludak. 

Semua karena Black Cat merangkul musisi di luar genre jazz dan blues. Beberapa kali musisi pop dan rock manggung di bar tersebut, seperti /rif dan Judika. Tapi capaian yang didapat bukan tanpa resiko.
"Pelanggan yang dahulu masih ada yang setia ke sini, tapi ada juga yang sudah tidak mau ke sini karena konsepnya berganti, ya tidak masalah," kata Remi. "Sekarang pengunjung muda dan baru lebih banyak." (les/les) 

Sumber
Share on Google Plus

    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar