Liputan6.com, Jakarta - Hari masih pagi jelang siang, sekitar pukul 10.00 dan 11.00, 19 Mei 1780. Tiba-tiba langit New England mendadak gelap, nyaris gulita.
Dari Maine hingga New Jersey, orang-orang menjadi saksi Matahari yang menghilang. Nyaris setengah warga Amerika dilanda ketakutan. Suasana kacau, mereka sama sekali tak tahu apa yang sedang terjadi.
Belum ada listrik kala itu. Pun dengan radio, telegraf, televisi, apalagi ponsel pintar yang bisa memberikan informasi dengan cepat. Kondisi kian menyiksa bagi mereka yang tinggal di pedesaan, yang rumahnya berjauhan satu sama lain.
Maka tak heran, panik pun melanda. Sejumlah orang yakin, hari penghakiman telah tiba. Apalagi, sebelum hari itu, Matahari terlihat merah, langit berubah jadi kuning.
Dari Maine hingga New Jersey, orang-orang menjadi saksi Matahari yang menghilang. Nyaris setengah warga Amerika dilanda ketakutan. Suasana kacau, mereka sama sekali tak tahu apa yang sedang terjadi.
Belum ada listrik kala itu. Pun dengan radio, telegraf, televisi, apalagi ponsel pintar yang bisa memberikan informasi dengan cepat. Kondisi kian menyiksa bagi mereka yang tinggal di pedesaan, yang rumahnya berjauhan satu sama lain.
Maka tak heran, panik pun melanda. Sejumlah orang yakin, hari penghakiman telah tiba. Apalagi, sebelum hari itu, Matahari terlihat merah, langit berubah jadi kuning.
BACA JUGA
Mereka yang gelisah menyusuri jalanan, berteriak dan meratap bahwa kiamat segera menjelang.
Apalagi tanda-tandanya sesuai dengan apa yang pernah mereka dengar -- Matahari yang menjadi gelap, bulan yang berwarna merah darah, dan bintang yang seakan berjatuhan dari langit.
Sementara itu di Hartford, parlemen sedang rapat saat fenomena itu terjadi. Melihat langit yang mendadak gelap, para politisi meminta sidang dihentikan. Mereka ingin pulang, khawatir dengan kondisi keluarga. Beberapa bahkan berlutut ketakutan dan berteriak memohon penundaan.
Abraham Davenport, yang kala itu jadi Ketua House of Representatives atau DPR bersikukuh, rapat tetap dilangsungkan.
Apalagi tanda-tandanya sesuai dengan apa yang pernah mereka dengar -- Matahari yang menjadi gelap, bulan yang berwarna merah darah, dan bintang yang seakan berjatuhan dari langit.
Sementara itu di Hartford, parlemen sedang rapat saat fenomena itu terjadi. Melihat langit yang mendadak gelap, para politisi meminta sidang dihentikan. Mereka ingin pulang, khawatir dengan kondisi keluarga. Beberapa bahkan berlutut ketakutan dan berteriak memohon penundaan.
Abraham Davenport, yang kala itu jadi Ketua House of Representatives atau DPR bersikukuh, rapat tetap dilangsungkan.
"Aku menentang penundaan. Entah kiamat bakal terjadi atau tidak," kata dia, seperti dikutip dari situs Today I Found Out, Selasa (12/1/2016).
"Jika tidak, tak ada alasan penundaan. Kalau ternyata benar, aku memilih didapati tetap melakukan tugasku. Maka dari itu, nyalakan lilin-lilin."
Apa sesungguhnya penyebab fenomena itu masih misterius. Sejauh yang diketahui ilmuwan saat itu, tak ada gerhana matahari total yang terjadi. Juga bukan gara-gara badai, meski setengah dari New England dilanda hujan pagi itu.
Sejumlah teori muncul, seperti erupsi gunung berapi dan meteorit yang diduga jadi sebab.
Namun, fakta yang mendekati adalah adanya kebakaran hutan dahsyat di Kanada. Dengan meneliti lingkaran tumbuhan di Ontario, para ilmuwan mendapatkan bukti api yang berkobar pada waktu yang bersamaan dengan kegelapan di New England.
Spekulasi menyebut, kombinasi asap tebal dan kabut yang padat membuat Matahari tak terlihat.
Itu bukan kali pertama kegelapan melanda sebagian Bumi. Antara 1091 dan 1971, kegelapan melanda selama 50 hari di seluruh dunia.
Akhirnya, pada 20 Mei 1780, mentari kembali bersinar di atas New England. Orang-orang memenuhi gereja untuk mengucap syukur.
0 komentar:
Posting Komentar