Jogja National Museum - Minggu, 1
November 2015
YOGYAKARTA
– Tuti, Hartina, Elly, dan Murtini adalah anggota-anggota yang tersisa dari
Ansambel Gembira Jakarta. Ansambel ini menjadi salah satu kelompok paduan musik
di bawah Lembaga Musik Indonesia (LMI); salah satu komunitas kreatif Lekra di
tahun 1960-an.
Keempat
personel Gembira itu kini tergabung dalam kelompok baru bernama Dialita.
Dialita yang merupakan akronim dari “Di Atas 50 Tahun” adalah salah satu
kelompok paduan suara (choir) yang tampil di malam panggung pembukaan Biennale
Jogja XIII di Jogja National Museum (JNM), Gampingan, Yogyakarta (1/11).
Sebagaimana
Ansambel Gembira, Dialita terdiri dari ibu-ibu paruh baya yang menggugah jiwa
bangsanya lewat lagu-lagu patriotik seperti Asia Afrika Bersatu, Padi untuk
India, dan Viva Ganefo.
Tiga
lagu yang dibawakan dengan penuh energik dan semangat itu diciptakan
komposer-komposer Indonesia di masa ketika Indonesia menjadi barisan depan
memimpin Asia Afrika dalam perjuangan kemerdekaan. Lagu Viva Ganefo diciptakan
Asmoro untuk memperingati keterlibatan Indonesia dalam New Emerging Force,
sementara A. Ali menjadi pencipta lagu Padi untuk India yang berkisah bagaimana
solidaritas rakyat Indonesia untuk India yang kekurangan pangan. Adapun lagu
“Asia Afrika Bersatu” diciptakan
Sudharnoto yang juga pencipta mars “Garuda Pancasila” yang kita warisi
hingga sekarang.
“Lagu-lagu
yang kami nyanyikan di panggung Biennale Jogja ini untuk merawat harapan dan
semangat hidup. Kami berkumpul, melakukan kegiatan-kegiatan untuk kemanusiaan
dan bernyanyi bersama. Keadilan, kebenaran, dan kedamaian adalah nilai-nilai
yang kami perjuangkan,” kata Ucikowati (63) yang disambut tepuk tangan meriah
penonton.
Dialita
adalah keluarga besar penyintas di tahun-tahun malapetaka politik 1965. Menurut
Bu Uci, dalam paduan suara Dialita terdapat satu nama yang menjadi legenda
penyintas. “Bu Mujiyati itu generasi pertama penyintas. Bu Muji yang masuk
dalam gelombang pertama dan juga paling terakhir keluar dari kamp Plantungan di
Jawa Tengah,” cerita Bu Uci yang didapuk sebagai juru bicara Dialita.
Panggung
Dialita di Biennale Jogja XIII adalah yang pertama dilakukan di luar Jakarta
atau panggung ke 27 mereka selama bernyanyi sejak dibentuk 7 Desember 2012.
Di
Biennale Jogja yang bertemakan Hacking Conflict (Meretas Konflik) paduan suara
Dialita berada sepanggung dengan musik-musik eksperimental seperti Senyawa. Wukir
Suryadi, salah satu pendiri Senyawa, menciptakan alat musik sendiri lewat jalan
otodidak dari bambu tapi memiliki fungsi yang sama seperti gitar elektrik pada
umumnya dengan suara yang meraung. Bahkan dalam penampilan pembuka, Wukir
Suryadi & Lifepatch memperlihatkan ciptaan “gitarnya” yang dibentuk seperti
senjata dan sekaligus panah api. Alat musik itu meraung-raung.
Senyawa
adalah generasi musik terbaru yang sangat berbeda dengan musik yang
dipertunjukan Dialita 65 yang muncul di era Soekarno. Berbeda pula dengan
penampilan musik keroncong dari Orkes Nusa Permai.
Bayangkanlah
orkes dengan lagu yang mendayu-dayu seperti “Jangan Ditanya Kemana Aku Pergi”
yang dipopulerkan Broery Marantika bersanding dengan band heavy metal seperti Punkasila.
Lagu-lagu ciptaan mereka barangkali terkesan “aneh”, tapi syarat dengan
pesan-pesan kekerasan politik. Simak saja judul-judul lagu Punksila, antara
lain Kopassus, TNI, RPKAD, Turba, PKI, Perang Singkatan, Manikebu, FPI, DOM,
Bakorstanas/Bakin, hingga KFC.
Di
panggung Biennale Jogja Punkasila menampilkan empat mesin motor bebek yang
disulap menjadi suara-suara musik mereka. Raungan motor itu mengingatkan
pendengar musik mereka yang keras dengan raungan suara berisik di jalan raya
saat musim kampanye politik tiba. Atau bisa juga Punkasila sedang mengkritik
dengan cara vulgar dan tajam bagaimana kendaraan motor menguasai jalanan kota
di seluruh Indonesia.
Dari
Dialita 65 hingga Senyawa dan Lifepatch, dari Orkes Nusa Permai hingga
Punkasila menjadikan panggung pembukaan Biennale Jogja XIII merepresentasikan
sebuah lintasan sejarah generasi yang panjang dan sekaligus menyandingkan yang
bertolak dalam satu panggung bernama seni rupa dan kebudayaan.
(res)
0 komentar:
Posting Komentar