YOGYA - Garis Kemiskinan di DIY hingga Maret 2015 naik sebanyak 7,16% dibanding tahun sebelumnya di periode yang sama.
Sementara bila dibandingkan kondisi per September 2014, maka dalam kurun waktu satu semester terjadi kenaikan sebesar 4,62%.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, Bambang Kristiyanto menjelaskan, jumlah penduduk miskin di DIY sejak Maret 2009 hingga Maret 2015 selalu alami fluktuasi.
Jumlah penduduk miskin pada Maret 2009 tercatat 585,78 ribu orang, sementara pada Maret 2011 turun menjadi 562,70 ribu.
“Namun sampai dengan kondisi bulan Maret 2012, jumlah penduduk miskin naik menjadi 568,35 ribu. Sementara pada periode September 2012 - Maret 2015 mengalami fluktuasi. Di Maret 2015, penduduk miskin di DIY mencapai 550,23 ribu,” jelas Bambang di kantornya, Senin (9/11).
Dia pun menyampaikan, penduduk miskin yang tinggal di perkotaan sebanyak 59,91% dan di desa sebesar 40,09%.
Namun begitu, jumlah penduduk miskin di perkotaan pada Maret 2015 sebanyak 329,65 ribu orang menurun 3,38 ribu orang jika dibanding tahun sebelumnya.
Menurut survey, lanjutnya, Garis Kemiskinan Makanan (GKM) masih lebih besar ketimbang Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) yang berupa perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.
Di tahun ini, kemiskinan yang disebabkan GKM sebesar 70,70%.
“Berdasarkan tiga dari lima komoditas makanan yang memberikan kontribusi terbesar pada garis kemiskinan di perkotaan maupun di pedesaan yaitu beras, rokok dan daging ayam,” jelas Bambang.
Lebih jauh dia memaparkan, komoditi non makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan, baik di perkotaan maupun di pedesaan yakni papan atau tempat tinggal dan bensin.
Komoditi lainnya yang termasuk dalam posisi lima besar lainnya di perkotaan adalah pendidikan, listrik dan perlengkapan mandi.
“Beda dengan di pedesaan. Jika di pedesaan, komoditi yang menyumbang terbesar adalah kayu bakar, listrik dan perlengkapan mandi,” sambung dia.
Terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Umar Priyono menyatakan, pihaknya kini sedang mengupayakan menurunkan angka kemiskinan di Rancangan Perda Istimewa (Raperdais) urusan kebudayaan.
Kebudayaan di sini bukan bermaksud kesenian saja, melainkan juga budaya masyarakat untuk bergotong royong.
“Kebudayaan di sini bukan berarti kesenian atau pegelaran, tapi juga nilai dan budaya masyarakat untuk bergotong royong. Gotong royong kan mampu berperan mengurangi angkakemiskinan,” kata Umar.
0 komentar:
Posting Komentar