Adopsi Prinsip PBB Jadi Cara Jerat Korporasi Pembakar Hutan
Jakarta, CNN Indonesia -- Musibah kebakaran lahan di Kalimantan, Sumatera, dan beberapa daerah di Indonesia dipandang terjadi karena faktor yang beragam. Selain fenomena iklim El Nino, penegakan hukum yang lemah juga dipandang menjadi faktor penyebab timbulnya musibah tersebut.
"Terjadinya kebakaran hutan dan lahan ini karena penyebab yang kombinasi. Regulasi yang tidak jelas dalam Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menjadi salah satu pemicunya," ujar Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani di kantornya, Minggu (1/11).
Menurut Ismail, beragamnya faktor pemicu munculnya musibah kebakaran lahan harus diatasi oleh semua pihak, terutama pemerintah. Kewajiban utama penanganan bencana melekat pada negara sesuai perspektif hak asasi manusia.
Namun, pihak swasta sebagai salah satu aktor dalam kehidupan bernegara juga dipandang harus bertanggungjawab menangani musibah kebakaran tersebut. Pemerintah dapat memaksa pihak-pihak swasta untuk ikut berperan mengatasi kebakaran lahan yang semakin meluas.
Untuk membantu pemaksaan terhadap pemenuhan tanggung jawab pihak swasta, Ismail menyarankan pemerintah segera mengadopsi prinsip internasional tentang standar etika bisnis yang terdapat dalam the United Nations Global Compact (UNGC) dan the United Nations Guiding Principles for Business and Human Right (UNGP).
"Prinsip tersebut sudah diadopsi banyak negara dan diterapkan dalam sektor bisnis agar korporasi memenuhi dan bertanggungjawab dalam memenuhi HAM atas kegiatannya," katanya.
Jika UNGC dan UNGP diadopsi dalam sistem hukum Indonesia, diyakini penanganan masalah kebakaran akibat pembukaan lahan oleh pihak swasta kedepannya akan berjalan lebih baik lagi.
"Kami yakin prinsip-prinsip UNGP dan UNGC jika diadopsi dapat menjadi jalan tengah dalam memenuhi kebutuhan korporasi untuk membuka lahan, dan keharusan mereka menghormati dampak dari kegiatan itu sendiri," ujarnya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melansir luasnya lahan yang telah terbakar sejak tiga bulan lalu setara dengan 32 kali luar Provinsi DKI Jakarta, atau empat kali luas Pulau Bali.
Hingga 20 Oktober lalu, BNPB mencatat lahan gambut yang terbakar paling banyak terjadi di Kalimantan dengan luas 267.974 hektare. Menyusul Kalimantan, Sumatera berada di posisi kedua sebagai pulau yang lahan gambutnya paling banyak terbakar, yaitu 267.974 hektare.
Tidak hanya terjadi di Kalimantan dan Sumatera, kebakaran gambut juga terjadi di Papua, yakni seluas 31.214 hektare. Kota Merauke, Kabupaten Mappi dan Kabupaten Boven Digul menyumbang titik api terbanyak di Papua.
Negara pun ditaksir mengalami kerugian lebih dari Rp20 triliun akibat bencana kebakaran lahan yang tidak kunjung berakhir. (utd)
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar